Satu

122K 5.2K 115
                                    

Febe Emmalita bangun pagi seperti biasa. Dia sudah meninggalkan ranjang sekitar pukul lima. Tempat pertama yang ditujunya adalah kamar ibunya, Rosita. Perempuan itu membuka pintu dengan hati-hati, mengintip sebentar untuk mengecek kondisi Rosita. Setelah yakin ibunya masih terlelap, Febe kembali menutup pintu.

Rutinitas itu sudah dilakukannya selama enam tahun terakhir. Tepatnya sejak kesehatan Rosita terus menurun. Perempuan berusia 59 tahun itu mengidap banyak penyakit. Mulai dari kolesterol, darah tinggi, serta mag kronis. Seingat Febe, Rosita mulai sakit-sakitan sejak suaminya meninggal. Kematian ayah Febe itu membawa serta sebagian kebugaran istrinya.

Febe yakin, penyebabnya adalah cinta yang terlalu besar. Menemukan seseorang yang dicintai dengan total, bisa dibilang lumayan langka. Febe menyimpulkan itu berdasarkan pengalaman pribadinya. Usianya sudah melewati angka 28, tapi Febe belum menemukan belahan jiwanya. Tidak ada kekasih yang dicintainya hingga membuat dunia jungkir balik.

Febe menuju dapur untuk membuat segelas teh hangat tanpa gula untuk dirinya sendiri. Di sana sudah ada Dila, asisten rumah tangga yang bekerja untuk keluarga mereka. Dila sedang menyiapkan sarapan.

"Mau masak apa, Mbak?" Febe melirik ke arah talenan yang dipenuhi irisan daun bawang, cabai, dan bakso. Sementara di cobek ada bumbu yang sudah dihaluskan.

"Mi tek-tek. Cuma belum mau dimasak sekarang, nunggu Ibu bangun. Biar nggak keburu dingin." Dila mencuci tangan di wastafel. "Irina belum bangun ya, Fe? Tumben."

"Belum ngeliat, Mbak. Tadinya kukira udah di sini."

Dila meringis. "Dua hal yang bisa dilakuin Irina lebih baik dari kamu adalah bangun pagi dan masak. Seingatku, jarang banget dia bangun belakangan dibanding kamu."

Febe mengambil sebuah gelas dan sendok. "Bukan cuma jarang. Langka malahan." Gadis itu mulai menyeduh tehnya. "Rumah kita bakalan sepi, nih. Nggak nyampe dua minggu lagi Irina mau nikah dan langsung pindah. Nantinya cuma tinggal kita bertiga doang di sini."

"Asal Irina jangan gampang ngambek aja kayak biasa. Kalau ribut dikit langsung minggat ke sini, kan repot." Dila merendahkan suaranya sambil melirik ke arah pintu. Untungnya tidak ada orang lain yang bergabung dengan mereka. Entah Irina atau Rosita.

"Iya sih, kebiasaan Irina yang suka kabur-kaburan itu, nggak banget."

"Jadi, kenapa nggak buruan nyari pacar, Fe? Syukur-syukur bisa cepet nikah." Dila mengulum senyum. "Trus kamu tetap tinggal di sini, sambil jagain Ibu."

Febe tertawa pelan. "Pacar nggak bisa sengaja dicari, Mbak. Rumusnya beda. Kalau keluar rumah dengan niat nyari pasangan, pasti gagal."

"Tapi tetap harus usaha, Fe. Kalau cuma diam di rumah, kapan ketemu calon potensial?"

Febe mencubit lengan Dila. "Nyindir aku, nih?"

"Nggak nyindir, cuma ngomong apa adanya," balas Dila kalem. "Eh, tapi kamu bukan karena trauma atau takut nikah, kan?"

"Hah? Ngapain trauma atau takut nikah? Aku nggak selemah itu." Febe hendak menggoda Dila tapi membatalkan niatnya. Dia diingatkan status Dila yang sudah menjanda sejak empat tahun silam karena sang suami meninggal dunia. Sejak itu, Dila tampaknya belum tertarik untuk menikah lagi.

"Siapa tau, Fe. Kamu diam-diam pernah ngerasain dikecewain sampai ogah jatuh cinta lagi." Dila meringis sambil menatap Febe. "Kan banyak cerita kayak gitu."

"Aku nggak kenal yang namanya trauma." Febe membuka kulkas di sudut dapur, agak membungkuk untuk melihat isinya. "Hari ini mau masak apa, Mbak? Untuk makan siang."

"Kemarin sih Ibu bilangnya pengin makan ayam betutu. Trus sama tumis kailan."

Febe pun mengeluarkan ayam dan kailan dari dalam kulkas. "Kayaknya besok kudu belanja ke pasar, nih. Udah hampir kosong kulkas kita."

Despacito [Terbit 28 Oktober 2020]Where stories live. Discover now