Tapi, aku sama sekali enggan beranjak. Bahkan enggan membereskan barang-barangku.

"Oke baiklah," sahutnya pasrah, "aku sepenuhnya percaya padamu, maka dari itu tak menanyakan keberadaanmu. Aku percaya kau takkan macam-macam. Aku percaya kau takkan pergi jauh tanpa mengatakan apa-apa. Aku percaya kau takkan lari. Kalaupun kau memang punya niatan itu, bukankah harusnya kau lakukan sebelum kita terikat?"

"Kau ... sepercaya itu padaku?" tanyaku gugup. Setengah ragu, setengah terharu. Ia terdengar seperti aku orang yang paling ia percaya di muka bumi ini. Bagaimana mungkin? Aku saja tak bisa memercayai dirinya sebanyak itu.

Tapi, sama sekali tak ada keraguan di kedua bola matanya ketika ia menghadapku. "Kita ... sebanyak apa pun berlari, sejauh apa pun kabur dari satu sama lain, akhirnya hanya akan kembali pada titik yang sama. Aku tidak takut kau pergi karena kau akan kembali bagaimanapun situasinya. Aku pun tidak takut untuk punya niatan pergi karena akhirnya akan kembali padamu. Tidakkah kau merasakannya juga?"

Aku ingin mengelak. Aku ingin mengatakan bahwa pemikirannya itu sangat bodoh. Tapi, aku tak mampu mengatakannya karena diriku sendiri menyadari hal itu.

Ya, aku sudah pernah pergi. Sangat jauh. Bahkan tidak hanya secara ikatan, aku juga pergi secara fisik. Selama dua tahun lebih. Namun, akhirnya aku kembali ke sini. Aku terjebak lagi dalam pelukannya.

Aku menghela napas kemudian membereskan barang-barangku di atas meja. Aku lalu beranjak dan menariknya pergi. "Kajja ...."


***


"Argh!"

"Hya! Hya! Ini wajah, bukan batu!"

"Siapa yang bilang wajahmu batu?" tanyaku kesal. Aku menaruh kompresan es dengan kesal. Kulipat tangan di depan dada dan menatapnya tajam.

Tapi, sahutannya malah membuatku semakin kesal, "Wajahku, kan, tampan. Mana bisa disamakan dengan batu?"

"Ya, terserah. Obati saja sendiri."

Aku mengeluarkan salep yang kubeli di depan kompleks apartemen dan menaruhnya di tangan Minho. Setelah itu aku bergegas pergi. Berniat untuk menghujani kepalaku dengan air supaya suhunya mereda.

"Hey! Aku tidak bisa melihat wajahku dan mengolesnya sendiri!" protes Minho.

"Lihat cermin!" sahutku tanpa melihatnya.

Aku segera masuk ke dalam kamar mandi. Tak lupa menyiapkan perlengkapan mandi sebelumnya supaya aku tidak perlu keluar dari kamar mandi dan kembali lagi.

Ketika mencoba menghapus make up, aku menyentuh perutku yang mulai terasa nyeri. Obatku sudah habis. Jelas akan menimbulkan masalah jika aku seharian penuh tidak meminumnya.

Tapi, masalahnya adalah obat itu kudapatkan dari London. Aku seolah memang ditakdirkan untuk pulang ke tempat yang seharusnya.

Aku menghela napas kemudian menyentuh perutku. Aku sedikit menggigit bibir bawah, berharap itu bisa meredam rasa sakit yang kuterima. Tapi, semakin lama rasanya semakin sakit. Aku benar-benar berada dalam masalah.

"Tidak ... kau kuat. Kau tidak boleh bergantung pada obat selama sisa hidupmu," ujarku menguatkan diri. Aku berusaha bersikap normal dan memulai kegiatan mandi.

Cruel Destiny [Stray Kids Imagine Project]Where stories live. Discover now