Part 13 (Delphos)

79 24 4
                                    

Dua jam sejak kami tiba di rumah, aku masih tidak bisa tidur dan memilih mengurung diri di kamar, menghindari pembicaraan dengan kakek sebagaimana Stuart menolak memberi penjelasan padaku soal pengakuannya di pantai.

Sembari menyisiri rambutku yang basah sehabis keramas di depan meja rias, aku berusaha meraba-raba isi pikiranku yang tak bisa kujangkau. Mungkin otakku tak sengaja terjatuh di pantai tadi atau dalam sisa perjalanan menuju rumah, yang pasti, aku merasa kosong. Sampai kudengar kembali ketukan di pintu, aku sontak tersadar dari lamunan. Bahkan begitu terkejut.

"Monett, bisa kita bicara sebentar?" suara kakek terdengar cemas di luar.

Aku sudah mengatakan padanya kalau aku lelah dan ingin tidur sejak baru masuk ke dalam rumah, bahkan aku sengaja mengabaikan Stuart yang menggendong Niyo sendirian ke kamar tamu. Tetapi sekarang aku baru ingat kalau kakek tidak pernah menyukai jika aku mencoba melarikan diri darinya.

"Monett, aku tahu kamu belum tidur." Kakek berteriak lagi.

Demi mengakhiri teror yang kupastikan tidak akan berhenti hingga aku keluar ini, aku pun menyeret langkahku menemuinya sambil menunjukkan wajah menunduk lesu. Tidak. Aku sadar penampilanku malam ini lebih mengerikan dari sekadar terlihat lesu.

Aku sangat mirip dengan hantu kuntilanak, kecuali warna gaun tidurku yang biru dan bukannya putih. Karena itu tak mengherankan saat kakek berjingkat kaget begitu melihat penampakanku.

"Kamu sudah makan?" Dia bertanya sembari memegang dada. Mungkin jantungnya butuh ditenangkan sebentar.

Aku mengangguk sembari menyibakkan anak rambutku ke belakang telinga. Setengah memikirkan kembali apakah tadi aku memang bisa disebut benar-benar makan atau hanya mengicip. Dan jawaban dari perutku yang mendadak berbunyi keras, panjang lagi memalukan menjelaskan semuanya. Sekarang aku tak bisa lagi menghindari tatapan penuh selidik kakek yang syarat tuntutan.

"Apa pun yang tadi kamu makan pasti bukan sesuatu yang mengenyangkan. Ayo, kita makan lagi. Tadi aku membawa ayam goreng yang lezat. Seorang turis berbaik hati mentraktir rombongannya dan mengikutsertakan namaku di dalamnya."

Meski kupikir ada unsur jebakan dari undangannya, tapi melihat bagaimana kakek bersemangat ingin makan bersama, pada akhirnya meluluhkan hatiku dan aku mengangguk untuk menghormatinya.

"Karena tamu kita sepertinya sudah sangat lelah, kita tidak perlu membangunkannya. Lagian, Niyo tidak menyukai apa pun selain ikan, bukan?" Kakek tidak terdengar marah, menata piring di atas meja sambil kubantu menyiapkan bungkusan yang tadi dibawanya pulang.

Sejujurnya, ini malah membuatku merasa tidak enak padanya. Kakek jelas-jelas melihat Niyo pulang dalam kondisi teler berat dan basah kuyup serta babak belur dalam gendongan Stuart yang juga basah kuyup dan jontor di sana-sini. Dia tidak pernah menyaksikan pemandangan mengerikan itu di rumahnya sejak kali aku datang dan aku yakin kalau itu pasti membuatnya terkejut. Tapi sekarang, kakek bahkan tidak menunjukkan gelagat ketidaksukaannya.

"Aku ingin minta maaf," lirihku akhirnya. Menghentikan niatan kakek untuk menggigit potongan ayam yang sudah berada dalam genggamannya dan beralih menatapku.

Dia bertanya mengapa aku tiba-tiba minta maaf. Dan ketika aku menjelaskan kalau aku merasa tak enak membawa pulang Niyo dalam kondisi seperti tadi, kakek hanya tertawa seolah-olah ingin menyampaikan kalau itu bukan masalah baginya.

"Kakek sungguh tidak marah padaku?" Aku meyakinkan sekali lagi.

"Kenapa aku harus marah padamu?" Kakek balik tanya.

Jika aku harus memberi alasan, pasti akan ada banyak sekali alasan yang bisa kuberikan. Tetapi demi membuat kesan agar citraku tidak terlihat buruk-buruk amat, aku hanya menyampaikan fakta berdasar topik terkini, "Karena aku membawa laki-laki mabuk pulang ke rumah. Dan juga  ... tadi dia habis berkelahi dengan Stuart." Dan aku sadar kalau jawabanku ternyata lebih terdengar sebagai pertanyaan lain yang kuajukan padanya alih-alih pernyataan sebuah alasan.

Kakek kembali tertawa sebelum akhirnya benar-benar menggigit potongan paha ayamnya, lalu tangan kanannya bergerak memulung nasi dan mencocolnya ke dalam mangkok berisi sambal matah sebelum mengirim suplai tenaga itu ke dalam mulut. Dia mengunyah makanannya sampai sangat halus sebelum menelan semuanya dan kembali bicara, "Setiap hal selalu memiliki alasan," katanya kalem. "Tak peduli terlihat seberapa buruk pun itu, kita tidak semestinya marah untuk sesuatu yang belum kita mengerti."

Dan itulah kakekku. Pria tua yang bijaksana dan tangguh. Pria yang ingin kutiru sisi baiknya tapi susah. Kalau aku di posisinya tadi, mungkin aku sudah langsung mengamuk dan mengusir Niyo dan tidak lagi mengizinkan Stuart datang ke mari, lalu menelepon orang tuaku dan meminta mereka menjemputku segera, tapi kakek tidak melakukan semuanya dan masih dapat tersenyum tulus serta menikmati hidangan makanannya dengan tenang.

"Kakek sudah mengenal keluarga Stuart jauh sebelum aku datang ke sini, kan?" Melihat kakek yang lahap menikmati ayam gorengnya, mendadak aku ingin ikutan makan sambil melanjutkan obrolan.

Kakek mengangguk dan mengiyakan tanpa menatap padaku. Perhatiannya saat ini sepenuhnya fokus pada apa yang ada di hadapannya. "Apa pertanyaanmu ada kaitannya dengan jawaban dari sesuatu yang membuatku bertanya-tanya perihal kejadian malam ini?"

Aku menelengkan kepala ke sisi kiri tak begitu yakin, "Mungkin, sih. Tapi yang pasti, mereka berkelahi karena ada hubungannya dengan masalah keluarga. Dan yang sebenarnya juga mengejutkanku, Stuart mengatakan kalau Niyo adalah adiknya. Apa itu masuk akal? Stuart bukannya anak tunggal ya?"

Kakek hanya diam, tak menjawab untuk beberapa lama sampai kupikir dia tidak akan pernah menjawab lagi. Sampai nasinya habis dan dia nambah dua potong paha ayam lagi. Namun, aku salah.  Kakek tiba-tiba mengangkat kepala dan memandangku lekat setelah cukup lama sebelum mengatakan kalau dia memiliki kisah yang ingin dibaginya denganku. Kisah yang tadi diceritakan salah satu turis asal Afrika padanya.

Dia memulainya sambil terkekeh, "Ini sangat menarik," tuturnya, yang masih membuatku bertanya-tanya di mana kaitannya cerita ini dengan jawaban yang tadi kuinginkan mengenai keluarga Stuart. "Mereka menyebutnya sebagai Penjaga Perairan."

"Siapa?" tanyaku dan berhenti makan.

Aku agak terkejut juga saat melihat piringku kosong dan ada dua tulang paha ayam yang menjadi saksi kerakusanku malam ini. Aku pasti sangat kelaparan sekali tadi. Tidak mungkin aku menghabisi nasi dan daging ini karena khilaf, kan?

Sendawaku yang menyusul terdengar cukup keras berhasil menjawab semua pertanyaanku. Untung tidak ada Niyo. Kakek bukan masalah yang perlu dirisaukan meski ini memalukan. Dia sudah kebal dengan kebiasaan burukku sama halnya seperti Stuart.

Kakek menatapku lekat. "Sesuatu yang akan aku ceritakan. Kamu harus mendengarnya sampai selesai sebelum bertanya."

Aku mengangguk setuju. Jika ini memang pengalihan topik, aku sangat berharap kalau ceritanya benar-benar menarik jadi aku bisa melupakan kegilaan yang kusaksikan malam ini dan berhenti merisaukan omongan orang-orang mabuk seperti Stuart dan Niyo.

Dalam kisahnya, kakek menyebut bahwa ini adalah cerita mengenai legenda bangsa Delphos; manusia setengah lumba-lumba yang telah mendiami bumi semenjak berjuta tahun silam. Tentang pangeran lumba-lumba yang seolah ingin membawa imajinasiku ke dalam Fantasyland sejak saat kakek memulai ceritanya dengan gaya pendongeng.

Kisah yang mungkin sebenarnya lebih cocok dituturkan kepada anak-anak tingkat TK menjelang waktu tidurnya alih-alih remaja SMA yang sebentar lagi akan menjadi mahasiswi. Namun, aku tetap mendengarkan.

Salah satu suku yang mendiami hutam Amazon masih memercayai mitos tentang keberadaan sosok pangeran lumba-lumba yang mendiami lautan dan sungai-sungai besar yang dapat mengubah wujudnya menjadi manusia tampan rupawan pada malam hari.
Mereka akan mendatangi perkampungan warga dengan beberapa tujuan. Namun, yang paling populer dikisahkan adalah untuk menemukan pasangannya yang berasal dari bangsa manusia.

Hal tersebut berlaku sebagaimana perjanjian tua yang pernah dibuat salah satu tetua suku dengan bangsa Delphos dan mengikat seluruh anak keturunan mereka. Bahwa lumba-lumba akan membantu para pelaut dan nelayan untuk meningkatkan hasil tangkapan ikannya, menyelamatkan manusia yang tenggelam, dengan imbalan anak gadis mereka—manusia—harus menjadi istri dari setiap keturunan lelaki bangsa Delphos yang lahir.

Wanita-wanita yang menjadi pilihan pangeran Delphos akan dibawa ke dasar samudra di mana Atlantis dulu tenggelam dan tinggal di sana selamanya. Menjadi ratu baru sekaligus ibu bagi para keturunannya.
Dan aku melongo di akhir cerita. Nyaris ngiler. Atlantis lagi.
sebutkan pengguna

Delphos (End)Where stories live. Discover now