Part 11 (Kafe Tepi Pantai)

93 23 22
                                    

Aku memenangkan perdebatan, dan memesan dua gelas air putih mineral sebelum meninggalkan kafe sambil ditatapi sinis oleh pelayan yang semula menyambut ramah kedatangan kami. Sementara itu, Niyo terus menggerutu soal betapa aku benar-benar sangat mempermalukannya seharian ini.

Dia terus menyinggung masalah di toko perhiasan setelah tadi sempat melupakanya sebagai bahan untuk terus menyalahkanku. Dan Niyo baru mau diam setelah kami duduk di salah satu meja kafe tepi pantai dan mendengarku berkata kalau kali ini dia boleh memesan menu sampai perutnya meledak kekenyangan.

Bukannya aku salah bicara atau mulai putus asa setelah mendengar ocehannya seharian, tetapi karena aku tahu harga menu ikan di sini masih relatif murah dibandingkan kafe sebelumnya yang biasanya hanya dikunjungi oleh orang-orang berduit. Dan lagi, kupikir dia juga tidak akan makan melebihi takaran yang bisa kubayangkan.

"Lobster, kepiting, cumi-cumi, gurita, tuna, tiram ...." Mata Niyo berbinar-binar saat membaca menu di tangannya. Namun segera berhenti membaca dengan suara lantang saat menyadari aku mengawasi.

Sore ini dia terlihat bagaikan dewa Yunani bermandikan cahaya matahari senja, duduk membelakangi sunset mengenakan salah satu pakaian baru yang tadi kami beli di pasar; kemeja putih lengan panjang dan celana bahan hitam seperti pelamar pegawai negeri. Niyo mengatakan, itu adalah warna paus pembunuh dan dia sudah lama ingin berkamuflase menjadi paus pembunuh.

Anehnya, alih-alih geli mendengarnya, alasannya itu justru kedengaran lucu dan membuatku beserta pedagang di pasar tertawa

Ups! Ten obraz nie jest zgodny z naszymi wytycznymi. Aby kontynuować, spróbuj go usunąć lub użyć innego.

Anehnya, alih-alih geli mendengarnya, alasannya itu justru kedengaran lucu dan membuatku beserta pedagang di pasar tertawa. Karena ternyata meski kukira dia sudah dewasa, adakalanya kalau dia itu juga terkesan polos layaknya anak-anak.

Saat angin berembus dari tungku pembakaran ikan dari beberapa kafe yang banyak terdapat di sekitar kami, aroma berkah laut merupa di udara, menggelitik tak hanya indra pencium tetapi juga helaian rambut yang tampak halus dan lembut di kepala Niyo. Dia bersinar layaknya siluet yang memancarkan gurat warna keemasan, tengah memejamkan mata menikmati rupa-rupa aroma ikan yang memenuhi atmosfer.

Niyo sepertinya telah terhipnotis, meletakkan daftar menunya di meja dan berkata yakin tanpa membuka mata, "Aku mau pesan semuanya."

Dia tidak tahu kalau aku sudah tersadar dari kekaguman sementaraku dan kembali melotot. "Nggak boleh!"

Niyo akhirnya membuka mata dan menatapku layaknya musuh. "Jangan menghalangiku lagi. Tadi kamu mengatakan kalau aku bisa memesan apa saja yang dijual di sini?"

"Menunya kan, banyak. Memangnya perutmu muat makan semuanya? Pesan saja sesuai kapasitas perutmu. Lain waktu kita ke sini lagi."

Niyo mengacungkan telunjuknya ke udara dan menggoyangnya ke kiri dan ke kanan sebagai isyarat tidak setuju pada usulanku. Dia menentang saranku. "Aku akan menghabiskan semuanya, jangan khawtir."

"Lalu bagaimana jika aku membantumu?" Suara Stuart tiba-tiba ikut terdengar.

Aku menoleh gelagapan ke belakang kursiku dan menemukannya berdiri di sana. Itu memang dia. Stuart dengan kaos kasual warna biru berlengan panjang, membawa dua botol sampanye yang berkilat-kilat tertampar sinar matahari senja, dan sedang menatap Niyo dengan gelagat tak ramah.

Delphos (End)Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz