Part 1 (Hilangnya Kakek)

610 74 40
                                    

Selamat datang! Jangan lupa tinggalkan jejak kalau sudah mampir 👌
=============

Aku berlari melewati gerbang seolah-olah tengah diburu pada jam pulang sekolah. Mengabaikan teriakan Stuart yang mengejarku serupa sedang mengajak balapan lari.

"Ikan itu tidak akan lari!" serunya dari kejauhan. Suara Stuart kedengaran naik turun mengikuti tarikan napasnya yang kembang kempis lantaran mengejarku. "Jangan lari, Monett!"

Aku tidak memedulikan Stuart dan tetap berlari. Ingin segera sampai di rumah dan melihat dengan mata kepalaku sendiri seperti apa wujud lumba-lumba yang katanya tak sengaja tertombak harpun salah satu nelayan asing dan berhasil diselamatkan kakek.

"Kakek, aku pulang!" seruku begitu sampai di rumah.

Kulemparkan tas ranselku ke sembarang tempat. Ruang tengah tampak lengang, begitu juga dapur dan halaman belakang. Tak ada siapa pun di sana. Satu-satunya manusia yang kemudian kulihat adalah Stuart yang akhirnya berhasil menyusulku pulang.

"Kenapa sih, nggak bisa santai sedikit?" Lelaki itu terbungkuk-bungkuk sambil menyeka keringat yang membanjiri wajahnya. "Capek, tahu."

Stuart satu-satunya sahabat baikku di planet bumi ini, adalah pembenci semua jenis kegiatan fisik. Dia baru saja berlari tanpa ada yang menyuruhnya, tapi lihatlah bagaimana dia mengeluh seolah-olah aku memaksanya ikut berlari.

"Aku penasaran." Kujatuhkan bahuku dengan kecewa. Bukannya aku juga ingin mengeluh pada diri sendiri. Hanya saja, aku berlari secepat angin dengan harap bisa melihat lumba-lumba itu di rumah. Namun, ketika sekarang yang kudapati berbeda dari ekspektasi, semua capek yang tadi tidak kurasa mendadak menyerbuku berbarengan. Meremas-remas jantungku hingga napasku ikutan naik turun.

"Kakek nggak di rumah." Aku berjalan gontai ke lemari es dan mengeluarkan dua botol air mineral dalam kemasan. Lalu melemparkan salah satunya pada Stuart sebelum akhirnya kami sama-sama menjatuhkan diri di sofa beludu tua berwarna biru yang kini cenderung kelabu di depan TV.

"Mungkin, Kakekmu membawanya ke tempat pelelangan ikan. Siapa tahu saja, lumba-lumba itu gagal diselamatkan dan mati, jadi dia berpikir kalau akan lebih baik menjualnya." Stuart mulai membuat skenario. Dan aku benci setiap kali dia melakukannya.

Maka, aku mencebikkan mulut sambil melirik sinis padanya yang duduk tepat di samping kananku. "Kenapa kamu selalu memiliki ide akhir cerita buruk dalam kepalamu?"

Stuart menyeringai. Dan percayalah, senyumnya yang bagiku selalu menjengkelkan itu adalah senjata berbahaya yang membuat sembilan puluh persen siswi di sekolah kami tergila-gila padanya.

Para gadis selalu mendeskripsikan Stuart sebagai pangeran yang keluar dari anime; bermata bulat lugu, memiliki belahan dagu seksi tepat di bawah bibir mungilnya. Ditambah tailalat kecil di bawah mata kiri yang membuat Stuart semakin tampak manis-sekali lagi, itu kata teman-temanku. Lalu ditunjang dengan postur tubuhnya yang super tinggi, kulit warna tan alami khas anak pesisir serta prestasi cemerlang dalam bidang akademik. Jadilah Stuart dilabeli dengan predikat sempurna di seantero Bumi Pertiwi.

Stuart, pangeran sekolah yang ironisnya memilih menjomblo karena baginya bermain game lebih menyenangkan ketimbang bermain dengan hati wanita. Salah satu alasan mengapa kakek menyukainya dan rela membagikan banyak hal padanya ketimbang padaku, layaknya berita penemuan lumba-lumba terluka itu. Stuart yang kadangkala kubenci karena dia suka mencuri perhatian kakek dariku. Dan kenapa juga sekarang aku terlalu banyak menggambarkan Stuart?

Delphos (End)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن