Part 2 (Tamu-Tamu Berwajah Bintang)

223 39 21
                                    

Saat aku tiba di rumah, aku melihat mobil Lexus hitam mengilat terparkir di halaman depan. Di depan pintu rumah yang terbuka, ada sepasang sepatu pantopel hitam yang juga mengilat, bersandingan dengan sandal kulit berdebu dan mengenaskan yang kukenali sebagai milik kakek.

Aku tidak mendengar suara-suara pembicaraan dari ruang tamu, jadi langsung berjalan memasuki rumah. Akan tetapi, tidak ada satu pun manusia di ruang tamu itu, dan samar-samar, aku malah mendengar suara bincang-bincang dari kamar tamu yang selama ini tak pernah terpakai. Ow, sekarang kamar tak berpenghuni itu pintunya bahkan juga terbuka.

"Permisi." Aku menginterupsi pembicaraan di sana.

Kakek tidak sendirian. Dia ditemani oleh dua pria asing berwajah ... sumpah rupawan, pakai banget. Mereka lebih bersinar dari bintang layar kaca yang sering kulihat berseliweran di televisi juga ponsel. Dan salah satunya bahkan juga tampil berkelas. Hingga sejenak aku yakin mereka adalah rombongan malaikat dari surga yang baru saja turun ke bumi untuk memberiku berkah setelah seumur hidup kebosanan melihat tampang menyebalkan Stuart.

"Ah, ini cucuku. Namanya Anastasia Monett." Kakek memperkenalkanku dan mengayunkan tangan memanggilku mendekat.

Aku memandangi kedua tamu itu bergantian tanpa dapat menyembunyikan ekspresi terpesonaku. Namun, disaat kulihat salah satu tamu itu terluka pada bagian kaki kirinya dan harus diperban hingga sebatas paha, air mukaku berubah. Lelaki itu berbaring di tempat tidur dan hanya mengenakan kaos putih polos serta celana bahan hitam yang dipotong pendek pada bagian kaki kirinya.

Sementara itu, pria satunya lagi yang terlihat lebih dewasa dan berkelas, mengenakan jas mewah menawan sambil membawa jubah dokter di tangannya. Hanya dari melihatnya sekilas, aku tahu bahwa dia bukanlah dokter yang berdinas di sekitar sini sebelumnya.

"Monett, perkenalan. Ini Dokter Carl, dan tamu malang kita ini bernama Niyo." Kakek memperkenalkan mereka padaku.

Pria yang diperkenalkan sebagai Dokter Carl mengangguk sambil tersenyum hangat padaku. Poninya yang lurus berayun saat dia mengangguk, memberikan kesan padaku seperti sedang nonton iklan sampo dengan model yang disewa dari luar negeri. Sementara Niyo ... well, dia sangat tampan, tapi mukanya datar tidak ramah. Bahkan jika seandainya dia tidak sedang sakit, aku mungkin akan menyimpulkan kalau dia lelaki sombong.

Aku balas mengangguk singkat pada Dokter Carl sebelum menoleh kembali ke kakek, tak ingin berlama-lama memikirkan hal macam-macam tentang mereka.

"Aku dari tadi mencarimu. Kata Stu, Kakek menemukan lumba-lumba yang terkena harpun nelayan ilegal dan membawanya pulang? Apa itu benar?"

"Lumba-lumba?" Kakek balik bertanya, berlagak kaget kemudian tertawa. "Ah, bocah itu pasti salah dengar. Aku menemukan seorang perenang asing yang tergigit hiu saat kebetulan kembali dari mengantar turis ke pulau seberang. Jadi aku membawanya ke daratan dan menemui Dokter Carl atas saran dokter terdekat. Karena puskesmas di sekitar sini tidak memiliki peralatan lengkap untuk menangani kasus Niyo."

Stuart salah dengar? Aku sedikit tidak percaya. Stuart bukan tipe orang yang bisa salah menerima informasi, bahkan ketika dia harus membagi konsentrasinya untuk game berat di ponsel dan mendengarkan penjelasan guru di kelas dalam waktu bersamaan. Otak dan telinga Stuart selalu tahu bagaimana dan ke mana harus memilah informasi yang diterimanya. Itu sebabnya dia dilabeli jenius. Ya. Jenius yang paling menyebalkan di alam semesta.

"Seperti yang kaulihat sekarang. Inilah perenang asing yang tadi kutemukan. Dia akan tinggal di sini sementara waktu sampai kakinya benar-benar sembuh." Kakek melanjutkan penjelasan yang akhirnya hanya kutanggapi dengan "oh" panjang.

Anggap saja kakek benar dan Stuart kebetulan sedang tidak fokus. Aku akan memercayainya sementara waktu karena kenyataannya memang hanya orang-orang ini yang kulihat sekarang.

"Aku akan pergi sekarang dan kembali tiga hari lagi untuk mengganti perbannya." Dokter Carl akhirnya undur diri.

Sementara kakek mengantarnya ke luar, hanya aku dan Niyo di kamar tamu itu. Wajah lelaki asing ini seketika tampak menegang seolah-olah khawatir aku akan berbuat tidak-tidak padanya.

"Halo, Niyo," sapaku basa-basi. Berusaha ramah agar dia tidak memandangku dengan tatapan melihat penjahat. "Apa kamu mengerti bahasaku?"

Aku memperhatikan sebelum melanjutkan sesi perbincangan kami. Kupikir, usianya tidak beda jauh dariku, jadi aku memanggilnya dengan nama saja tanpa embel-embel Kak atau Bli. Sementara dari jenis muka dan warna kulitnya yang putih pucat, aku menebak dia tidak berbicara dengan bahasa kami.

Aku semakin yakin saat menyadari ekspresinya yang tidak berubah. Dia masih menatapku waspada, tidak menjawab dan hanya sesekali berkedip. Warna matanya yang kecokelatan sangat cantik menyerupai mata sebuah boneka yang dapat berkedip-kedip dan sering kutemukan di pasar malam.

"Water?" cicitku ragu.

Ini adalah pertama kalinya aku menyesali kebodohanku dalam kemampuan berbahasa asing setelah menjadi bodoh seumur hidup, tapi aku tetap ingin menawarkan air padanya. Siapa tahu saja, kan. Dia begitu tegang karena kehausan tapi tidak memahami bahasa Indonesia. Dan aku tidak tahu bagaimana cara menawarkan minum padanya dalam bahasa resmi internasional. Jadi kulakukan saja sebisaku. "Glek ... Glek ... Glek...."

Aku memperjelas level kebodohanku dengan menirukan onomatope orang menelan air minum sambil mengarahkan jempolku ke mulut. "Drink, water, glek ... glek ... glek ...."

"Apa yang kamu lakukan, Monett?" Suara Kakek yang tahu-tahu kedengaran, konstan mengagetkanku.

Tak ingin lebih malu, aku cepat-cepat menggeleng sambil nyengir kuda. "Hanya berusaha melucu. Tapi sepertinya itu tidak berhasil," kilahku beralasan.

Aku tahu, kakek tahu aku hanya beralibi. Tapi aku bersyukur dia tidak membahasnya.

"Biarkan tamu kita istirahat. Dia pasti masih syok. Sana, keluar dan ganti bajumu. Jangan membuatnya lebih stres karena mencium bau tubuhmu yang berkeringat."

Aku sontak mengendus ketiakku sekilas dan tanpa bantahan langsung melesat keluar kamar. Meski ucapan kakek sudah biasa kudengar di hari biasa, tapi hari ini ketika mendengarnya mengatakan itu di depan tamu lelaki─tampan─kami, yang meski aku tak yakin dia memahami ucapan kami atau tidak, tetap saja aku merasa malu. Padahal aku baru saja bersyukur kakek tidak menjelaskan pada Niyo kalau aku bodoh dalam bahasa Inggris, tapi yang dilakukannya kemudian malah lebih mempermalukanku.

Sayangnya, kakek bukan orang sepeka itu. Dia tidak akan sadar kalau cucunya ini juga butuh jaga imej di depan seorang pria. Dan dia berbicara lugas di depan Niyo seolah-olah berbicara di depan Stuart yang notabene sudah tahu semua jenis bau yang bisa dikeluarkan oleh tubuhku.

Ayolah. Kedepannya, bagaimana aku harus menampakkan muka di depan Niyo si muka malaikat itu? Mana mungkin aku bisa bersikap cuek di depannya serupa aku bersikap di depan Stuart?

Delphos (End)Where stories live. Discover now