Part 9 (Anggap Saja Kencan)

95 24 4
                                    

Kami tidak bicara lagi sejak hari kepergok dan dicurigai pacaran oleh  Bu Marni di perpustakaan. Sudah dua hari, dan Stuart tidak datang ke rumah sama sekali bahkan ketika hari ini adalah libur Sabtu.

Kata kakek, Stuart ingin menghabiskan waktu libur akhir pekannya di warnet untuk main game. Tetapi aku merasa kalau dia hanya ingin menghindariku karena biasanya Stuart selalu main game di rumah kakek saat libur Sabtu-Minggu. Dan asumsiku kian menguat saat dia juga tidak menjawab teleponku pagi tadi. Padahal hari ini aku masak cumi-cumi kesukaannya.

"Apa kamu gelisah karena dia tidak datang lagi?" Niyo mengagetkanku yang sedang manyun di ayunan.

Dia selalu muncul tiba-tiba dengan cara mengejutkan dan itu seperti sudah menjadi kebiasaannya sejak tiba di sini. Aku pura-pura tidak tahu siapa yang dia maksud dengan bertanya, "Siapa?"

Niyo tak langsung menjawab, memindahkan piring berisi cumi goreng crispy yang dibawanya dari dalam rumah ke tangan kanan dan merogoh saku celana kirinya. Lalu ia menyerahkan lima batang permen lolipop aneka rasa padaku, dan berakhir duduk damai tanpa permisi menyebelahiku.

"Siapa lagi jika bukan teman seranggamu yang gemar memakan permen seperti itu?" katanya sambil mulai mengunyah cumi.

"Enggak," sanggahku singkat. Aku tidak ingin membahas Stuart yang sudah mengabaikan teleponku dengan mengalihkan topik pembicaraan, bertanya dari mana Niyo mendapatkan permen-permennya. "Kamu dapat permen dari mana? Sudah berani jalan ke warung sendirian?"

Niyo memberitahu kalau anak-anak nelayan di sekitar sini yang memberikan itu padanya. Well, cukup mencengangkan mengingat dia sudah membuat banyak kemajuan sebelum satu minggu nyasar kemari.

Aku bahkan sampai tak bisa menyembunyikan senyum lebarku yang berlebihan. "Wah  ... sekarang kamu bahkan sudah memiliki banyak teman di sini?"

"Mereka anak-anak yang baik." Niyo terdengar tulus saat menilai kenalan barunya. Mungkin dia belum tahu kalau para gadis yang biasanya berpapasan denganku di jalan mulai bergosip membicarakannya dengan sudut pandang seorang pemuja.

"Kami membersihkan sampah di tepi pantai." Dia meneruskan. "Ada banyak sekali sampah plastik. Kami sampai kewalahan mengumpulkannya."

Kali ini mataku membulat sebab Niyo tak berhenti membuatku terkagum. "Wah  ... hebat!"

Kuacungkan kedua jempolku ke depan wajahnya.

Mengupas senyum di wajah Niyo yang ikut memperlihatkan sederet geligi putih terawatnya. Dia benar-benar malaikat. Seumur-umur aku tinggal di sini, aku bahkan tidak pernah berpikir untuk melakukan seperti apa yang Niyo lakukan karena aku terlalu jiijik berurusan dengan segala hal bernama kotoran. Apa lagi kotoran yang dibuat orang lain.

Kupikir, mengapa aku harus bertanggung jawab atas sesuatu yang bukan hasil dari kesalahanku? Aku tidak pernah membuang sampah rumah tangga ke pantai, karena kakek selalu mengajarkan untuk membakar sampah non organik di halaman belakang kami yang tak seberapa luas.
Lalu, dia akan menjadikan sampah organik sebagai pupuk untuk tanaman yang tumbuh di pekarangan rumah. Jadi semua sampah yang kami hasilkan tak pernah keluar ke mana-mana.

"Aku ingin tinggal lebih lama di sini dan melakukan hal-hal baik untuk tempat ini sebagai tanda terima kasih karena seorang manusia sudah pernah menyelamatkanku. Dan aku ingin memulainya dengan membersihkan sampah yang tersebar di sepanjang pantai. Aku akan melakukannya selama masih di sini." Niyo kembali bertutur sambil melempar tatap sarat kerinduan ke arah lautan nun jauh di sisi selatan.

Kedengaran keren, sih. Dia sepertinya sungguh-sungguh menyukai laut sebagaimana dia menyukai sea food. Tapi kendatipun demikian, sisi pesimistikku tak bisa begitu saja mengamini rencananya.

Delphos (End)Where stories live. Discover now