IV-11. Video Chatting

1K 125 5
                                    

Difa tertawa terbahak-bahak mendengar ceritaku. Aku cemberut menatapnya.

"Tidak lucu," kataku pada layar laptop yang menampilkan wajah sahabatku di Prisna sana. "Aku mempermalukan diri di depan dua akla unggulan tahun ini. Semuanya gara-gara Red!"

"Kak K tahu jika Feli-ha dilibatkan, kau enggak bisa menolak," kekeh Difa. "Ya ampun. Aku pernah bilang ini sebelumnya ketika aku menghitung berapa banyak kau menyebut nama Feli-ha dalam satu jam ...."

"Kurang kerjaan sekali."

"Habis sedikit-sedikit kau membahas dia terus, sih! Aku sampai bingung cinta pertamamu itu Feli-ha atau ...."

"Sebut namanya dan aku akan langsung memutus sambungan," ancamku. Difa menunduk sambil memohon-mohon minta maaf. Dia tahu benar aku alergi mendengar dua nama tertentu. Satu dari dua pemilik nama tersebut adalah cinta pertamaku. Satu nama yang lain punya kasus kebalikannya—cowok itulah yang menjadikanku cinta pertamanya. Jangan kira aku punya kisah indah dengan mereka berdua. Meski ada embel-embel "cinta" di sana, mereka pernah membuat hidupku serasa di neraka.

"Maaf, maaf! Iya, deh, cinta pertamamu memang Feli-ha!"

Aku memelotot padanya. Bukannya gentar, tawa Difa malah semakin keras.

"Oke, kita serius sekarang," katanya sambil terengah gara-gara kebanyakan tertawa. "Jadi kau seorang akla? Keren sekali!"

"Aku harap begitu," jawabku murung. "Jujur saja, setelah meninggalkan markas aku merasa seperti orang bodoh gara-gara menjadi akla karena dorongan impulsif. Aku tidak tahu apakah aku bisa bertahan di markas saat latihan dimulai minggu depan."

"Jangan begitu. Ingat, Feli-ha yang membimbingmu."

"Aku tahu. Tetap saja tidak membuatku semangat jika memikirkan bagaimana menggelikannya performaku di lapangan nanti."

"Bukankah Feli-ha dulu juga payah berolahraga? Kalau dia bisa, kau pun pasti bisa!"

"Aku enggak punya motivasi kuat untuk mengalahkan siapa-siapa, Difa."

"Yah biar saja ... hei, kau bisa punya cita-cita untuk mengalahkan Kak K!"

Aku tersedak.

"Mengalahkan Red?" ulangku. "Aku akan jadi bubur begitu ia melancarkan serangan pertamanya!"

"Belum tentu, kecuali kalau kau memang ingin jadi bubur," kata Difa serius. "Kau harus percaya diri, Rosie. Maaf saja, tapi harus kukatakan kalau kepercayaan diri adalah masalahmu sejak dulu."

Aku hendak mendebatnya, tetapi batal. Difa benar. Aku selalu merasa tak percaya diri menghadapi hal-hal yang aku yakini payah melakukannya.

"Apa yang harus kulakukan, kalau begitu?"

"Hajar saja," jawabnya. "Kau sudah terjun. Cobalah berenang atau tenggelam sekalian. Aku yakin pada akhirnya kau mampu. Kau mungkin tidak suka akan apa yang sudah Kak K lakukan padamu, tapi aku mengerti dia ingin kau mendobrak batasan-batasan yang kau buat sendiri. Coba deh, kalau ditanya ingin menjadi akla atau tidak tanpa memedulikan bakat atletikmu, kau pasti menjawab ingin kan?"

Aku mengangguk. "Aku selalu ingin jadi keren seperti mereka."

Difa menjentikkan jarinya. "Nah ... itu. Jadi bersyukurlah karena sekarang kau sudah menjadi akla! Horeee!"

Difa bertepuk tangan. Mau tak mau aku tersenyum.

"Terima kasih," ujarku. "Sebenarnya aku gengsi mengatakannya, tapi kau adalah orang paling manis yang pernah kukenal dalam hidupku."

"Ah, kau bisa saja." Difa mengedip-ngedipkan matanya genit. Aku memelototinya lagi.

"Hentikan!"

Difa tergelak. "Ngomong-ngomong, bagaimana dengan sekolahmu? Sudah mencoba seragam lala Canaih-mu yang baru?"

"Belum. Murid yang berasal dari luar negeri harus ikut Kelas Penyesuaian dulu, jadi aku belum perlu memakai seragam. Tiga hari lagi kelasnya dimulai, tapi lusa aku harus ke sana karena ada orientasi."

"Pasti menyenangkan bertemu siswa dari berbagai negara," kata Difa. "Lihat-lihat, Rosie. Siapa tahu ada yang ganteng di sana."

Aku langsung teringat pada si cowok jus. Kuputuskan untuk tidak cerita apa-apa tentang cowok itu pada Difa. Bisa-bisa sahabatku yang usil ini meledekku terus setiap kami ber-video chat. Sebagai gantinya aku berkata, "Yah, benar, karena kelas ini adalah kesempatan terakhirku sekelas bersama anak laki-laki, kan? Setelah ini aku akan masuk kelas yang dipenuhi para gadis."

"Semua sekolah di Canaih memberlakukan sistem homogen, eh?"

"Hampir semuanya. Sebenarnya satu institusi menerima murid perempuan dan laki-laki, hanya saja kampus mereka dipisah."

"Ah, begitu. Menyenangkan juga, ya. Kalian para gadis bisa ramai-ramai berpesta piama."

Aku tertawa setengah hati. Rupanya Difa menyadari ini karena ia bertanya, "Ada apa?"

"Setelah apa yang terjadi, kurasa aku hanya bisa memercayaimu dan Regina saja."

"Jangan begitu. Itu tak adil untukmu dan mereka," tegur Difa. "Kau punya kesempatan untuk memercayai orang lain lagi. Mereka juga punya kesempatan untuk kau percayai. Semangat, Rosie. Aku yakin kau akan bertemu teman-teman yang baik di sana. Kau pernah bilang kalau kau pergi ke Canaih untuk memulai awal yang baru, bukan? Jadi kau harus optimis!"

Difa memamerkan senyumnya yang paling lebar, membuatku ikut tersenyum juga. Pada saat itulah aku melihatnya menguap. Tak heran, di Prisna sana sudah dini hari. Akan tetapi, demi ber-video chat denganku untuk pertama kalinya, Difa bersikeras untuk bangun pukul satu pagi.

"Oh ... sepertinya aku harus kembali tidur." Mata cokelat Difa yang kecil mulai berair. "Ma akan mengomel tanpa henti kalau aku sampai terlambat bangun."

"Oke. Salam untuk Ruan Melda dan adik-adikmu, ya. Oh ya, aku juga titip ucapan selamat ulang tahun untuk Feo!"

"Wow, kau masih mengingatnya! Baiklah, nanti aku salamkan untuk adikku yang satu itu. Dah, Rosie. Sampai ketemu!"

"Sampai ketemu dan selamat tidur!"

Video chatting kami berakhir. Aku menutup laptop-ku lega. Meski berjauhan, aku masih punya kesempatan untuk mengobrol dengan Difa dan Ma kapan pun kami sempat. Ma dan aku sempat chatting beberapa jam sebelum aku mengobrol dengan sahabatku itu. Aku senang Ma tidak menangis atau menunjukkan kesedihan yang berlebihan saat kami berbincang-bincang. Itu membuatku merasa lebih tegar tinggal terpisah dengannya selama beberapa waktu ke depan.

Ma menceritakan kegiatannya bersama Rou Olfi dan Ruan Warda begitu bertolak dari bandara (mereka langsung jalan-jalan dan berbelanja, mungkin untuk mengalihkan diri dari kesedihan yang mereka rasakan setelah aku pergi). Sedangkan aku balas bercerita tentang Madoii yang mengajakku menonton pertandingan akla anmina. Sudah, poin itu saja yang kuceritakan pada Ma. Aku tak yakin Ma akan mendukungku jika bilang aku sudah jadi akla. Dalam bayanganku, Ma akan histeris mendengar putri tunggalnya ikut serta dalam olahraga yang mengharuskan pesertanya adu sabet pedang. Mungkin aku baru akan memberitahunya beberapa bulan kemudian, setelah aku yakin bisa bertahan di lapangan akla tanpa merasa gentar akan serangan lawan.

Aku menguap dan melirik jam berbentuk kupu-kupu yang tergantung di dinding kamar. Sudah jam sepuluh rupanya. Aku bangkit dari tempat tidur, menaruh laptop, lalu meraih sapu tangan Brivelon yang kuletakkan di meja rias sebelum kembali ke tempat tidur. Kulipat benda itu dengan rapi dan kutaruh di bawah bantal. Kumatikan lampu lalu kuhempaskan punggungku ke tempat tidur. Setelah semua yang terjadi hari ini, aku merasa lelah dan agak terkuras. Seminggu yang lalu, tak pernah kusangka akan tinggal bersama Red dan Madoii serta menjadi akla.

Aku melihat langit-langit kamar yang kini gelap, merenungi hari yang telah kulewati, dan menyadari bahwa ini memang awal mula dari titik balik hidupku. Sambil memejamkan mata kupanjatkan doa. Tak lama kemudian, aku sudah tenggelam dalam mimpiku sendiri.

*bersambung*

PreludeWhere stories live. Discover now