III-4. Ulisia

1.5K 173 6
                                    

Lima hari setelah Rosie pulang dari liburannya di Brivelon, Eistaat Ulisia mengunjungi Eistaat Brivelon. Melihat kehadiran Ulisia di perbatasan negara jagaannya, Brivelon mendengkus. Ia sudah tahu apa yang ingin disampaikan Ulisia padanya.

Brivelon mempersilakan Ulisia masuk dan memintanya muncul di menara tempat ia bertemu Rosie. Ia sendiri muncul di puncaknya lebih dulu sebelum mendengar bunyi dentang tangga yang semakin lama semakin keras. Begitu bunyi itu berakhir, sosok Eistaat berupa pria muda berambut cokelat mengembang, mata hijau sayu, dan wajah tirus berjalan mendekatinya. Seperti yang sudah Brivelon duga, Ulisia tampak tidak senang.

"Selamat datang di Brivelon." Brivelon berbasa-basi. "Senang menerima kunjungan Anda."

"Apa maksudmu, Brivelon?" semprot Ulisia. "Apa maksudmu memintaku muncul di sini, di tengah kota seperti ini? Kau tak memberlakukan batas dengan manusia lagi sekarang?"

"Begitukah sopan santun seorang tamu?" tanya Brivelon dingin. "Menyembur ketika tuan rumah menyambutnya?"

"Jangan banyak basa-basi. Kau tahu aku ke sini karena apa! Saputangan yang dimiliki Rosie Zoule, serta memorinya tentangmu ... kau memberi tahu eksistensimu padanya?"

"Kalau ya, apa yang akan kau lakukan?"

Ulisia ternganga.

"Aku tak percaya," katanya. "Kau, yang selama ini selalu patuh pada Peraturan, kini melanggar Peraturan itu sendiri?"

"Apa Peraturan lebih penting daripada warga kita?"

"Apa maksudmu?" tanya Ulisia.

"Kau tahu apa maksudku. Kau mengulik memori Rosie, kan? Semestinya kau tak bertanya lagi apa yang membuatku memilih untuk membuka identitasku padanya."

Wajah Ulisia tampak tak segarang sebelumnya. "Kau tak perlu berbuat sampai sejauh itu."

"Akan kulakukan apa pun untuk membuat wargaku merasa berharga," sela Brivelon. "Terutama jika Eistaat dari negara yang sudah ia tinggali selama hampir lima belas tahun tak menunjukkan kepedulian dalam bentuk apa pun padanya."

"Aku peduli!" Ulisia tercengang mendengar tuduhan ini. "Aku peduli pada wargaku termasuk Rosie! Segera kubisikkan ide agar lembaga berwenang menyelidiki indikasi kecurangan akan hasil ujiannya ...."

"Jadi Rosie memang dicurangi."

"Itu benar. Masalahnya aku tidak bisa bertindak sembarangan. Aku harus hati-hati karena negara jagaanku tak seperti negaramu. Kami punya banyak sekali masalah yang tak jarang melibatkan petinggi pemerintahan. Kalau tak ingat Peraturan ingin sekali aku turun langsung menangani semuanya, tapi jika teringat akibatnya aku langsung menahan diri." Ulisia menarik napas dan menatap tajam Brivelon. "Wargaku akan lebih sengsara kalau semua negara mengembargo kami."

"Yah, benar," kata Brivelon. "Paling tidak kau masih bisa melakukan sesuatu agar Rosie tak merasa dirinya sebagai sebuah kegagalan, hm? Saat pertama ia datang kemari keadaannya tidak begitu baik. Aku memberi tahumu, siapa tahu kau tidak tahu apa-apa soal pikiran dan perasaannya."

"Bagaimana kau bisa bicara seperti itu? Rosie anakku, putriku, aku tahu betul apa yang ia pikirkan dan rasakan ...."

"Kalau begitu kenapa kau tidak melakukan apa-apa?" tuding Brivelon. "Teman-temannya meninggalkannya, lembaga pendidikan yang semestinya bisa diandalkan menyalahkannya, dan kau sebagai Eistaat tempatnya lahir ... kau kemari bukan untuk membahas keadaannya tapi malah memarahiku karena melanggar Peraturan! Aku tak menyesali apa yang sudah kulakukan, tapi kalau kau mengurusnya dengan baik, tak akan ada bagian Peraturan mana pun yang kulanggar! Saat tiba di sini ia tidak seperti turis yang datang dari tempat yang memiliki Eistaat. Ia seperti orang-orang di Masa Suram dahulu!"

"Jangan bicara begitu, Brivelon," kata Ulisia sedih. "Aku menyayangi Rosie. Aku sangat menyayanginya. Aku marah karena kau berisiko menempatkan kita semua dalam bahaya. Kalau sudah begitu, bagaimana manusia bisa hidup aman di dunia ini termasuk Rosie? Kau boleh tak percaya, kau boleh bilang kalau aku tak becus menjadi Eistaat, tapi setiap hari aku tersiksa memikirkan bagaimana caranya menghibur wargaku tanpa harus melanggar Peraturan untuk bertemu mereka."

Brivelon mengembus napas keras. "Jadi apa maumu? Kau sudah tahu aku melanggar Peraturan. Itulah maksudmu datang kemari, kan?"

"Aku ingin menyampaikan keadaan Rosie juga."

"Heh, ya. Akhirnya kau menunjukkan tanda-tanda kepedulian tentangnya."

"Aku selalu menyayangi Rosie dan akan selalu begitu," kata Ulisia tegas. "Tak diragukan lagi apa yang sudah kau lakukan untuknya membuatnya jauh lebih baik. Aku hanya berharap tak ada Eistaat mana pun yang melanggar Peraturan untuk membuatnya merasa demikian. Maafkan aku, Brivelon, tapi kemarahanku juga disebabkan oleh rasa panik. Kakak sepersusuan Rosie datang dari Canaih dan meminta Rosie tinggal dengannya supaya Rosie bisa melanjutkan pendidikan di sana tanpa mengulang kelas. Rosie menerima ajakan itu dan besok ia akan berangkat ke Canaih membawa saputangan serta memorinya tentangmu. Itulah yang kukhawatirkan. Canaih tak akan bisa mengulik memori Rosie, tapi ia akan mengenali saputanganmu. Aku bisa menjamin untuk tidak melaporkanmu. Masalahnya, siapa yang tahu apa yang akan dilakukan Canaih?"

"Itu bukan urusanmu," kata Brivelon segera. "Aku yang akan berhadapan langsung dengan Canaih."

"Jangan bodoh, Brivelon. Jangan libatkan Eistaat lain lagi dalam masalah ini."

"Lalu kau mau apa? Kau mau mencegah Rosie pergi ke Canaih? Atau kau mau menghapus memori Rosie tentangku?"

"Aku bahkan tak pernah berpikir untuk melakukan keduanya," kata Ulisia getir. "Kau benar. Aku sudah mengabaikan Rosie. Aku tak mau berbuat kesalahan lagi dengan merampas dua hal yang sangat penting dalam hidupnya."

"Kalau begitu jangan pikirkan ini lagi. Ini masalah antara aku dan Canaih."

Alih-alih tenang, Ulisia malah tampak semakin getir.

"Semestinya kau tak perlu mengalami ini," katanya. "Kalau saja aku berhasil menemukan cara untuk menghibur Rosie ...."

"Memang sulit jika kau berkeras untuk tidak bertemu langsung dengannya."

"Kau ingin bilang melanggar Peraturan adalah satu-satunya jalan?"

"Kalau tanpa melanggar kau tak kunjung menemukan jawabannya? Ya."

Sejenak Ulisia terdiam. "Cara bicaramu seperti ingin menunjukkan kalau Peraturan adalah sebuah kesalahan."

"Aku tak mau mencampuri pendapatmu tentang Peraturan. Kau bisa menilai sendiri apakah Peraturan itu sebuah kesalahan atau bukan."

Lagi-lagi Ulisia terdiam. Tak lama ia kembali bicara hanya untuk pamit pulang. Saat Brivelon mengirimnya kembali ke perbatasan, ia melihat Ulisia menampakkan satu ekspresi yang tak akan pernah bisa ia lupakan. Ekspresi itu adalah ekspresinya sendiri saat meninggalkan Canaih empat belas tahun yang lalu, dengan kepala dipenuhi kata-kata tentang fitrah dan manusia.

*bersambung ke bagian empat, ROSIE*

PreludeWhere stories live. Discover now