II-6. Selamat Tinggal

2K 203 6
                                    

Semua sudah berakhir. Kedua Eyrez sudah pergi. Tak satu pun memori tentang Canaih tersisa di benak mereka.

Mereka bersikap seolah Lila Breriz tak pernah ada.

Canaih memejamkan mata, menyaksikan pesawat yang ditumpangi Reed dan Derezo menjauh dari daratan Canaih sebelum akhirnya menghilang. Canaih tak bisa melihat mereka lagi sama seperti ia tak bisa melihat ke mana mimpi besarnya akan membawanya. Semua sudah berakhir. Apa yang ia perjuangkan selama empat bulan berujung pada kesia-siaan.

Dengan hampa, Canaih melihat warganya bersuka ria di taman tempat ia berada. Saat melihat betapa bahagianya mereka, ia menyadari mimpinya egois. Warganya baik-baik saja tanpa dirinya. Mereka tidak perlu mengenal siapa Eistaat mereka untuk merasa bahagia. Getir, Canaih harus menerima mimpinya tak berarti apa-apa. Fitrah hanyalah alasan agar ia bisa memenuhi keinginan untuk hidup bersama warganya.

Mimpi Canaih harus berakhir di sini.

Sang Eistaat bangkit berdiri. Kalau ia memang ditakdirkan hidup sendiri sampai kiamat tiba, ia harus kembali membiasakan diri seperti saat Peraturan baru dicetuskan. Canaih masih ingat betapa sakit hatinya tatkala menghapus semua memori warganya berabad silam. Sakit yang ia rasakan sekarang sama seperti waktu itu.

Nyaris tak merasakan langkahnya sendiri, Canaih berjalan menuju gang sepi di dekat taman. Ia bermaksud menghilang di sana untuk kemudian muncul di hutan pinus di barat daya Canaih, tempat favoritnya untuk menyendiri. Namun, saat ia tiba di gang dan mulai membongkar penyamarannya sebagai Lila Breriz, pertahanan emosinya runtuh.

Ia menangis.

Canaih bersimpuh, menutup wajah, dan menangis di sana. Selama enam abad hidupnya sebagai Eistaat, tak pernah ia menangis seperti ini. Dibiarkan dirinya tersedu-sedan, hampir tak peduli kalau-kalau ada yang mendengarnya. Dia tak mau sendiri. Dia tak ingin sendiri. Akan tetapi, takdir berkata lain ....

"Madie*? Madie baik-baik saja?"

Tangis Canaih terhenti. Seorang gadis mungil berumur tujuh tahun berpipi tembam dengan rambut cokelat tebal masuk ke gang itu. Tangannya yang mungil memegang bahu Canaih sementara satu tangannya lagi memegang buku tulis yang sampulnya sudah kusut. Sesaat Canaih panik. Mata Eistaat-nya tak terlindungi lensa kontak yang biasa ia pakai setiap kali menyamar. Gadis ini akan langsung tahu ada yang tak biasa dengan dirinya.

Benar saja. Mata si gadis membelalak begitu melihat mata Canaih. Gadis itu hendak mengucapkan sesuatu, tetapi disela oleh seorang anak lelaki yang menyusul masuk ke gang. Berbeda dengan si gadis, anak lelaki itu berbadan tegap dan tinggi dengan gurat wajah yang lebih tegas. Ekspresi si anak lelaki yang tadinya cemas berubah kesal saat melihat gadis itu.

"Feli!" semprot si anak laki-laki. "Kau anak nakal. Pergi ke mana-mana enggak pernah bilang!"

"Aku enggak nakal!" Si gadis kecil membela diri. "Aku dengar ada yang menangis, jadi aku kemari!"

Heii, si anak laki-laki, mengarahkan pandangannya pada Canaih. Canaih tahu sebagai saudara yang protektif, Heii sempat bermaksud menarik saudari kembarnya menjauh dari sang Eistaat. Namun, karena mata Canaih amat menarik perhatian, ia malah terdiam menatapi mata Canaih.

"Heii, jangan begitu. Kau tidak sopan!" tegur Lofelin. Heii menunduk dengan wajah merah. Canaih tersenyum dan menghapus air matanya.

"Apa yang kau lihat dari mataku, harfiez?" tanya sang Eistaat lembut.

"Macam-macam," Heii menggumam. "Lapangan Akla Anmina, Marha*, Farha, sekolah ...."

Lofelin melirik Canaih diam-diam sebelum berkata, "Aku juga melihat hal yang sama. Kok bisa begitu, Madie?"

PreludeМесто, где живут истории. Откройте их для себя