II-4. Fitrah

2.9K 239 8
                                    

"Terserah apa katamu," tegas Brivelon kemudian. "Biarlah kau dengan jalan pikiranmu yang janggal itu. Diskusi Conlona adalah diskusi kita yang terakhir. Setelah ini aku tak mau berurusan denganmu lagi."

Brivelon bergerak meraih gagang pintu yang tak langsung membuka. Ia lupa Canaih telah menguncinya sebelum mereka berdua bergegas ke lantai atas.

"Buka pintunya," kata Brivelon. Canaih tetap bergeming.

"Canaih, buka pintunya," perintah Brivelon lagi.

"Apa yang akan kau lakukan kalau aku membiarkanmu pergi?"

"Kau masih tanya apa yang akan kulakukan? Kau pikir apa yang akan dilakukan Eistaat yang baru saja menyaksikan pelanggaran Peraturan oleh Eistaat lain?"

"Kau akan melaporkanku ke Dewan Eistaat."

"Tepat. Memangnya apalagi? Membiarkanmu menyebarkan ancaman kepada Eistaat lain sementara aku duduk minum kopi di negara yang kujaga, berpura-pura tidak tahu apa-apa?"

"Ancaman apa yang kau maksud? Ancaman apa yang mungkin terjadi jika manusia tahu tentang kita? Jangan bicara tentang Bourland lagi, karena ia memulai masalahnya sendiri!"

"Begitu? Jadi kau masih berkeras kalau apa yang menimpa Bourland diakibatkan oleh kesalahannya sendiri?" kata Brivelon keras. "Memangnya kau bisa menjamin wargamu tercinta tak akan melakukan hal yang sama meski kau sudah memercayai mereka seratus persen? Kau tidak punya jaminan untuk itu! Sedangkan pengalaman Bourland nyata adanya!"

"Hanya berapa persen warga Bourland yang memilih untuk melawannya di antara semua warga yang mengetahui identitas Eistaat Bourland? Hanya 163 dibanding lima ribu lebih!" balas Canaih. "Tidak pula ada bukti kalau mereka jadi gila gara-gara penghapusan memori secara paksa oleh Eistaat! Penghapusan memori tak cukup kuat untuk menghasilkan dampak seperti itu, bahkan penghapusan memori yang paling kasar sekalipun!"

"Kau tahu dari mana? Bukan kau yang terpaksa menghapus memori wargamu secara paksa!" Brivelon membalas berang. "Lagi pula jika benar apa katamu, itu artinya Bourland hanya beruntung! Artinya lagi, ada kemungkinan warganya jadi gila gara-gara penghapusan memori yang tidak mulus! Nah, kenapa bisa begitu? Karena, kukatakan ini sekali lagi, para pemberontak itu sudah dikuasai nafsu jahat untuk menguasai Eistaat mereka! Lalu kau bilang hanya 163 dibanding lima ribu lebih? Kalau kau tahu sifat manusia, 163 adalah jumlah yang sangat besar untuk mempengaruhi lima ribu orang lainnya!"

"Ya, benar. Karena mereka semua busuk, kan?" sindir Canaih. "Semua manusia punya hati yang busuk dan bisa disetir oleh manusia busuk lainnya begitu saja, hm? Yah, tentu saja. Betapa bodohnya aku karena belum menyadari ini."

"Yang belum kau sadari, Canaih," sambar Brivelon frustasi, "manusia adalah makhluk yang labil dan sulit ditebak. Mereka punya emosi, nafsu, dan ego. Jika mereka tak bisa mengendalikan itu semua, hancurlah dunia! Kita para Eistaat hanya akan mendorong mereka pada kehancuran! Bayangkan, kita mampu menguasai alam sekitar dibanding mereka. Apa yang akan mereka lihat dari kita jika mereka tahu tentang kita? Mereka akan berpikir untuk menguasai kita dan yang tidak berpikir seperti itu hanya tinggal menunggu waktu untuk dipengaruhi atau tertindas."

"Kau sadar apa yang baru saja kau katakan?" ujar Canaih tak percaya. "Kau bahkan punya anggapan buruk tentang semua manusia dan itu artinya termasuk wargamu sendiri."

"Paling tidak aku mengurus mereka dengan baik," jawab Brivelon dingin. "Aku tidak seperti Eistaat tertentu yang nyaris mengorbankan perjanjian penting yang berdampak bagi semua warganya hanya demi seorang bayi. Percuma berpegang pada prinsipmu jika pada kenyataannya kau melalaikan mereka. Nah, sekarang biarkan aku pergi."

Brivelon kembali memegang gagang pintu. Canaih tak kunjung bergerak, membuat Brivelon menghela napas keras.

"Apa yang kau harapkan dengan terus mengurungku di sini?" tanyanya. "Kau takut aku melaporkanmu dan kami semua akan memutuskan hubungan denganmu? Tentunya kau sudah menyadari konsekuensi itu sebelum melanggar Peraturan? Oh, jangan bilang tidak, Canaih. Aku tahu kau tidak sebodoh itu."

PreludeWhere stories live. Discover now