Part I- intuisi

508 69 9
                                    


Saga

Tanpa sengaja Saga menoleh. Di hadapannya berdiri dua anak perempuan yang sedang nyengir sendiri mencuri-curi pandang ke arahnya menghalangi pintu kelas.
Saga pernah di tatapi dengan cara mirip seperti itu ratusan kali. Jadi kejadian ini bukan kejadian luarbiasa. Dengan sopan Saga mengambil jarak dari mereka ketika melewati pintu kelas dan tidak menoleh lagi untuk kedua kalinya.

Hal pertama yang Saga lihat ketika masuk kelas adalah teman sebangkunya sekarang, Johan. Anak perempuan berponi dengan rambut lurus mengikal hingga ke punggung; yang belum lama ini pindah ke kelasnya dan yang punya nama persis sama dengan teman sebangkunya dulu yang di pindah ke kelas lain. 

Saga melangkah mendekat. Johan sama sekali tidak mendongak apalagi sadar Saga sedang berjalan mendekat kearahnya. Ia terlalu sibuk makan roti sambil menggambar sesuatu di belakang buku LKSnya.

Baru ketika Saga menarik kursi, Johan mendongak. Mata mereka bertatapan selama sedetik. Wajahnya yang tadinya santai berubah tegang dan matanya buru- buru menatap ke langit-langit kelas. Ekspresinya hampir seperti anak kecil yang langsung pura-pura sibuk kalau hendak di tunjuk guru.

Lucu. Dalam hati Saga tertawa tapi di atas permukaan Saga hanya diam.

Setelah lima menit dalam diam, bahu Johan yang tadinya tegang berubah rileks. Seperti sudah lupa lagi kalau Saga duduk di sebelahnya. Ia menguap lagi, makan roti lagi sambil menggambar. Kadang senyum sendiri lebih sering lagi; bicara singkat sendiri. Seperti parodi singkat dengan satu pemain dan satu pengamat, Saga.

Padahal anak perempuan lain yang duduk tepat di meja seberang meja Johan dan Saga terus menerus menatap Saga dengan mulut terbuka menutup mirip ikan. Ingin mengajak bicara Saga tapi tidak ada suara keluar kecuali bibirnya yang setengah tersenyum gugup.

Belum lagi anak perempuan yang ada di depan pintu kelas. Mereka masih menatap Saga penasaran. Seperti ingin sesuatu tapi tidak bisa apa-apa. Satu dua anak lain di dalam kelas juga melakukan hal yang sama. Bagi Saga, rasanya seperti di awasi banyak CCTV yang bisa cekikikan sendiri.

Seperti biasa pula Saga pura-pura tidak peduli. Pura-pura tidak tau. Mati-matian bersikap biasa padahal risih setengah mati.

Kalau sedang terjebak dalam situasi seperti ini, Saga langsung berharap ia BISA berubah jadi tidak peka. Andai saja ia bisa tidak sadar sedikitpun kalau sedang dipandangi. Seandainya saja ia bukan orang yang tanpa sadar selalu memperhatikan detail sekelilingnya.

Karena daridulu, setiap Saga memasuki ruangan apapun,  tanpa sadar Saga langsung memperhatikan setiap hal kecil. Hal paling sepele seperti dimana letak kamar mandi, dimana tong sampah, siapa yang duduk di ujung ruangan, berapa jumlah jendela yang terbuka, berapa lampu yang menyala. Hampir tidak ada yang lewat dari pengamatannya sampai ke hal terkecil yang paling tidak penting sekalipun.

Seperti setiap benda di kamarnya. Ia bisa langsung tau benda mana yang bergeser dari tempatnya. Bagaimana kira-kira benda itu bergeser atau apa ada orang yang masuk ke kamarnya.

Ia juga bisa langsung sadar kalau penjaga sekolah mengubah jenis sabun pel yang di gunakan dari aromanya atau kalau ada siswa yang datang dengan bau parfum yang berbeda. Bahkan coretan kecil di jari tangan gurunya tidak luput dari perhatian Saga.

Karena itu Saga tidak pernah tidak sadar bila ada orang yang menatapnya walaupun dari jauh.

Intuisinya terlalu tajam.

Lirikan singkat atau satu gerakan mencurigakan tidak luput dari Saga.

Jadi jangan harap Saga tidak tau siapa saja yang menatapnya diam-diam. Lebih parahnya lagi, Saga juga tidak pernah lupa wajah-wajah yang ia pernah lihat atau nama-nama yang pernah ia kenal.

Terlalu memperhatikan detail dan sulit lupa.

Kelebihan yang terkadang terasa seperti kutukan.

Reflection Where stories live. Discover now