Part 9

216 64 5
                                    

"Saga?" Panggil Johan sewaktu Saga meletakan tasnya di kursi.

Saga menoleh, tersenyum. Rambut Johan sedikit lembab karena pagi ini hujan.

"Mau makan berdua di mal?" Lanjut Johan gagap.

Saga mengangkat satu alisnya. Memandang mata Johan tajam. Sama sekali tidak kaget. Ia sudah mengantisipasi hal ini sejak kemarin, sejak pertemuannya dengan Lintang di mal sore lalu. Hanya bagaimana bentuk eksekusinya saja yang Saga tunggu.

"Oke." Jawab Saga singkat.

Mulut Johan ternganga bingung dan hanya di balas Saga dengan diam. Saga tidak berminat sama sekali untuk mendengar cerita apapun tentang Lintang. Terserah Lintang mau melakukan rencana apa lewat Johan: yang jelas permainan ini hanya mau di ikuti Saga karena Johan, selebihnya ini cuma tipuan kuno yang bagi Saga tidak bermutu.

Sepanjang hari, Johan benar-benar gelisah. Membuat Saga memutuskan untuk tidak bertanya. Johan baru bicara begitu jam pulang sekolah. Lagi-lagi Johan keringatan dingin dan gaya bicaranya yang belepotan membuat Saga khawatir.

"Saga kita jalan kaki terus makan di restoran jepang ya. Di situ." Tunjuk Johan gugup ke arah mal yang jaraknya sekitar setengah kilometer dari sekolah Saga.

Saga menghela nafas, "Iya."

Johan mengangguk lemah. Membisu. Kelihatan betul tidak semangat tapi kakinya tetap melangkah melewati jalan pedestarian bersama Saga.

Suara Johan baru muncul kembali saat dirinya dan Saga tanpa sengaja sama-sama menatap pemandangan yang sama; seorang laki-laki tua. Sekitar tujuh puluh tahun. Bajunya lusuh, berantakan, tua. Badannya kotor basah keringat. Berjalan pelan-pelan membawa tas ransel hitam sedikit robek sambil makan gorengan dengan lahap di bawah matahari siang yang cukup terik.

Setengah termenung, Johan bergumam tidak jelas. Lebih mirip seperti berdoa. Berdoa segala hal baik-baik ke bapak-bapak tua itu yang sudah pasti tidak di kenal Johan.

"Apa kamu selalu kayak gini?" Tanya Saga, ikut termenung.

"Apanya?"

"Berdoa untuk orang lain."

Johan mengangguk.

"Kenapa?"

"Ibuku bilang aku harus berdoa untuk semua orang."

"Kamu selalu doain orang lain yang baik. Tapi gimana kalau ternyata orang lain doakan kamu yang jelek?" Tanya Saga. Ia menatap Johan, sungguh-sungguh menunggu jawabannya. Sekalipun Johan sama sekali tidak mendongak balik menatap Saga selama berjalan.

"Nggak apa-apa. Kan itu urusan mereka." Jawab Johan singkat masih seperti setengah melamun, "Tapi buat apa ya doain orang lain yang jelek? Kenapa bisa orang lain benci sesuatu sampai sebegitunya?"

"Seperti Yano?" Potong Saga mendadak jengkel, "Apa kamu juga doain Yano yang baik-baik?"

"Oh nggak kok, Yano spesial. Dia pernah aku doain nggak naik kelas. Saga kan tau." Bisik Johan, akhirnya ia mendongak menatap Saga dengan pipi merona malu. 

"Harusnya memang begitu, kebaikan ada batasnya." Ujar Saga masam dan tanpa sadar Saga melanjutkan berbicara sedikit, menasehati Johan hal-hal yang sederhana. Sesederhana filosofi hidup yang Saga pegang.

Selama Saga bicara, Johan hanya diam mengangguk-angguk patuh dan baru di akhir pembicaraan Johan nyeletuk, "Ohh, jadi anak cowok kalau lagi kumpul-kumpul ngomongin nya kayak gini ya? Kayak seminar parenting?"

Saga sontak tertawa, "Huh?Bisa-bisanya kamu mikir kayak gitu."

"Terus Saga emangnya kalau lagi main sama cowok-cowok ngomongin nya apa?"

"Banyak."

"Sama Abimayu?"

"Banyak. Macam-macam."

"Soal pelajaran?"

Saga tertawa makin keras, perutnya sampai sakit karena cara Johan bicara bagi Saga paling lucu sedunia, "Nggak pernah."

"Saga beneran nggak pernah ngomong kayak gitu sama temen-temen Saga yang cowok?"

"Nggak. Nggak pernah, Johan." Ulang Saga tambah geli sendiri. Saga tau, teman-temannya tipe orang-orang yang paling alergi membahas filosofi hidup. 

"Terus Saga kok bisa tau banyak? Saga biasanya ngobrol soal kayak gini sama siapa?"

Dalam usahanya mengendalikan tawanya Saga berkata, "Kamu. Aku cuma bisa ngobrol hal-hal kayak gini dengan kamu."

Reflection Where stories live. Discover now