Part 15

199 52 7
                                    

Saga sadar dari luar orang-orang biasanya selalu menanggap hidupnya mudah. Ayah Saga seorang kontraktor alat berat dan ibunya pebisnis retail. Saga akui ia punya segala materi, lebih dari cukup, hubungan keluarganya juga sangat baik dan walaupun orangtuanya selalu sibuk, mereka diplomatis, open minded, bertanggung jawab.

Tapi karena itu semua juga, Saga sadar ia dituntut untuk lebih dewasa dari umurnya. Oleh keadaan.

Saga anak tunggal dengan umur orangtua yang sudah cukup tua. Ditambah bisnis orang tuanya yang tidak selalu mulus.

Dunia bisnis itu, jahat. Kenyataan.

Dari kecil Saga sudah melihat berbagai hal. Bergaul dengan teknisi dan operator alat berat di kantor ayahnya. Pekerjaan jalanan. Keras. kadang manusia bisa sejahat itu. Bisa. Apalagi kalau sudah berhubungan dengan uang.

Didikan orangtua Saga mungkin bagi sebagian orang berbeda. Tapi itu pilihan mereka sejak Saga di anggap mampu. Orangtua Saga terang-terangan menjabarkan semuanya; cara mengelola bisnis, persaingan jual beli sewa. Dari cara pelelangan formal sampai cara yang paling kotor. Saga juga biasa membantu ayahnya atau ibunya mengolah data perusahaan atau ikut saat proses jual beli sewa alat berat.

Dari mereka Saga sadar, ia akan diserahkan tanggung jawab besar dan bisa jadi hanya tinggal menunggu sepuluh tahun lagi untuk mau tidak mau harus totalitas terjun melanjutkan pekerjaan orangtuanya. Mengurus hidup ratusan orang yang pekerjaannya dan kelangsungan hidup keluarganya saat ini masih bergantung pada orangtua Saga.

Sepuluh tahun itu sebentar kalau di bandingkan mencari pengalaman dari bisnis orangtuanya sekarang. Masalah bea cukai, mafia alat berat dan sebagainya itu benar-benar harus di pelajari. Tidak bisa hanya teori.

Saga sudah lihat beberapa bisnis kolega orangtua Saga yang hancur karena anaknya tidak mampu melanjutkan bisnis, tidak mampu mengikuti perkembangan.

Dunia luar itu bisa kejam dan ini sering tidak disadari oleh orang-orang seusia Saga. Mereka belum terbiasa melihat kenyataan kalau mati tidak bergantung umur, tidak harus menunggu tua, musibah datang tanpa pemberitahuan, penyesalan selalu di akhir dan waktu tidak akan pernah kembali walaupun cuma sedetik.

Kini Saga seperti mengulang kejadian sebelumnya; menatap toko kue tempat Johan bekerja.

Ini bagian yang paling Saga tidak suka dari marahnya, rasa menyesal. Saga menghela nafas kembali, teringat wajah cemas Johan saat melihat Saga marah beberapa jam yang lalu.

Kalimatnya yang di lontarkan Saga tadi memang agak kasar untuk standar Johan. Saga sangsi anak seperti Johan pernah bergaul dengan pekerja lapangan alat berat atau mafia lapangan yang makan dengan kaki di angkat satu, merokok lima bungkus rokok sehari, terang- terangan minta uang sogokan, kerja hampir 12 jam di bawah sinar matahari sampai galaknya dan cara ngomongnya sepuluh kali lebih judes dari pak Bambang.

Johan jelas masih belum sampai tahap itu. Tapi ia harus bisa untuk sampai pada tahap itu. Dunia bukan tempat untuk orang lemah. Terutama dunia Saga. Dunia keluarga Saga.

Saga tidak memperhitungkan seberapa lama ia menunggu Johan berdiri didekat semak bunga petunia dekat toko kue. Di bawah langit jingga, abu-abu keunguan gelap sampai tiba-tiba Saga melihat Johan masih dengan seragam tokonya, berjalan keluar dari pintu kaca.

Mata Johan membulat terkejut, jemarinya masih mencengkram pintu kaca saat dirinya dan Saga saling bertatapan.

"Saga. Kenapa Saga disini?" Tanya Johan hampir terbata-bata.

"Kamu lupa?" Tanya Saga. Ia mengeluarkan seragam ekstra basketnya dari dalam tas, tersenyum singkat,"Kamu harus nyuciin ini."

"Iya." Johan menggigit bibir, "Aku lupa."

"Apa kamu mau pulang?"

"Hari ini aku boleh pulang awal."

"Kamu pulang dengan seragam kayak gitu?"

"Iya." Jawab Johan, ia menunduk gugup kebawah menatap penampilannya. Johan masih memakai gaun putih, apron dan penutup kepala berwarna orange, "Rumahku cuma di depan situ." Johan menunjuk ke arah kanan jalan, kemudian kembali menatap Saga canggung, "Saga udah berapa lama nunggu disini?"

"Nggak lama."

Jawaban Saga membuat mata Johan membulat semakin lebar dan bibirnya mulai tersenyum, "Saga mau mampir ke rumahku?"

"Mungkin sebentar." Jawab Saga dan secara reflek mengeluarkan kunci mobilnya, mengklik satu tombol, "Ayo naik."

"Nggak. Rumahku dekat. Aku bisa jalan kaki." Johan buru-buru menggeleng, menutup pintu kaca toko kue perlahan dan langsung berjalan mendahului Saga.

"Oke. Kita jalan kaki." Bibir Saga tertarik sedikit kesamping. Menahan tawa sembari mengikuti langkah Johan, "Maaf tadi aku marah."

"Nggak apa-apa. Daritadi aku mikirin kata-kata Saga. Menurutku, pendapat Saga benar kok."

"Tapi cara penyampaianku salah."

"Iya. Jangan galak-galak sama aku, Saga."

Saga tertawa terbahak. Benar-benar tidak bisa lagi menahan tawanya, "Kamu tau nggak? Kamu memang mirip kucing, " Saga menjulurkan tangannya disela-sela tawanya, "Tangan?"

"Apa?! Nggak mau! Emangnya aku binatang peliharaan?"

"Tapi kamu memang lucu kayak kucing." Ujar Saga geli sementara Johan Sibuk membuka pintu gerbang rumahnya, "Ibumu ada di rumah?"

"Nggak, dari kemarin ibuku keluar kota."

Saga berhenti mendadak," TERUS KENAPA KAMU BOLEHIN AKU KE RUMAHMU?" Suara Saga berubah galak.

"Memangnya kenapa?"

"APA KAMU PERNAH SEBELUMNYA NGAJAK ANAK LAKI-LAKI SELAIN AKU KE RUMAH WAKTU IBUMU NGGAK ADA?"

"N..nggak." Johan menggeleng takut.

"JANGAN PERNAH BOLEHIN LAKI-LAKI MASUK KE RUMAHMU WAKTU IBUMU NGGAK ADA." Perintah Saga.

Johan menggigit bibir sambil meringis, "Kalau Saga boleh?"

Saga menunduk menatap Johan putus asa, "Aku juga nggak boleh."

"Kenapa?"

"Karena aku harus jaga nama baikmu."

Reflection Where stories live. Discover now