07. Hari Pertama Latihan

40 2 0
                                    

"Aku bahkan lupa untuk memperkenalkan diri. Namaku Avner Cronembold. Dan ... siapa namamu tadi?"

"Karen Carl-"

"Ah, ya. Karen. Nama yang bagus."

Aku cemberut. Harusnya aku tidak boleh berekspektasi tinggi pada sikapnya yang menyebalkan itu.

Siang ini merupakan hari pertama aku berlatih untuk menjadi anggota Sviour. Singkatnya, kalau aku gagal dalam artian lamban menerima ilmu yang diajarkan Avner, maka tidak ada jalan lagi bagiku untuk bergabung bersama mereka.

"Kami punya pekerjaan yang lebih penting dibanding melatih orang baru. Kurasa jumlah anggota kami sudah lebih dari cukup-walaupun yang kau lihat mungkin tidak sebanyak yang kau pikirkan-tapi kami sudah terlatih untuk menghadapi Flopperrn. Sedikit tapi berkualitas, itu saja cukup."

Begitu kata Avner, yang secara tidak langsung sedikit mematahkan harapanku. Ia sepenuhnya benar. Kalaupun Sviour ingin merekrut anggota baru, jelas mereka akan memilih pemuda tangguh berbadan kekar dan berotak cemerlang, bukan gadis berumur enam belas tahun yang bahkan tidak tahu apa bakatnya. Ini tentu hanya akan membuang-buang waktu.

Setelahnya, tak ada lagi satu patah katapun yang keluar dari mulutnya, pun aku. Kami diselimuti keheningan sepanjang perjalanan keluar markas Sviour untuk menuju lapangan markas utama-markas militer kota V.

Sebenarnya, aku sangsi ia ikhlas dalam urusan ini. Maksudku, lihat saja sikapnya. Apalagi saat kami baru saja keluar dari gedung markas, dan melihat pemandangan puluhan orang yang yang berbaris rapi dan sudah siap dengan senjatanya. Avner memandang mereka cukup lama dan hanya melirik sekilas pada orang-orang yang menyapanya.

"Aku seharusnya ikut bersama mereka untuk menghadapi Flopperrn," ujarnya. Aku bahkan bisa mendengar kecemburuan pada suaranya. Dan kini aku tahu arti tatapan itu: ia iri.

"Beberapa bulan sudah cukup bagiku untuk terobsesi pada Flopperrn. Makhluk itu-kalau kau tahu bagaimana wujudnya-sangat membuatku jengkel. Kau tidak akan pernah melihat mereka seorang diri. Bahkan kalaupun kau hanya melihat satu Flopperrn, kau justru harus waspada dan jelas itu bukan hari keberuntunganmu."

"Maksudmu, Flopperrn hidup berkelompok?"

"Sebenarnya, tidak juga. Tapi lolongannya bisa memanggil tiga sampai enam Flopperrn lain sekaligus. Tidak ada jalan bagimu selain membunuh mereka, atau kau tidak akan selamat tanpa terluka sama sekali. Mereka terlalu kuat."

"Tapi, bagaimana bisa? Ini sudah lebih dari setahun. Dan setahun bukan waktu yang lama untuk membunuh seratus nyawa orang gila. Sudah berapa yang ditemukan dan dibunuh? Kalian bahkan punya banyak senjata dan bala tentara di sini."

"Kalau semudah itu kelihatannya, kau tidak akan tinggal di sini sampai sekarang," ujar Avner. Ia memberiku sebuah pistol. Kami telah sampai di lapangan belakang markas yang luas. "Tepatnya, kita tidak akan tinggal di sini lagi. Aku akan melanjutkan sekolah dan berkencan dengan gadis yang kusukai, sementara kau bisa tidur siang dan memamerkan kemampuan membuka tutup botol di hadapan teman sekelasmu. Pada kenyataannya, kau bahkan tidak tahu siapa lawan yang akan kau hadapi nanti."

Aku diam sejenak sambil menatapnya dengan sinis. "Apa kau boleh kujadikan sasaran tembakan pertamaku?"

Avner tertawa. Kali ini terdengar refleks dan bukan bermaksud untuk meremehkanku. "Ini gila," ia berceloteh, "kau mengingatkanku pada seseorang."

"Hey, dimana pelurunya?" tanyaku, mengabaikannya. Sedari tadi aku sibuk mengotak-atik pistol di genggamanku, yang setelah kuperiksa, ternyata tidak ada peluru di dalamnya.

Avner menghela napas jengah. "Kau tidak akan belajar menembak sebelum kau bisa memegang senjata dengan benar."

Kemudian Avner mempraktikkan cara yang-menurutnya-benar dalam memegang senjata. Katanya, teknik ini sangat penting, karena menembak bukan hanya tentang melepaskan peluru ke sasaran tembak. Banyak yang harus diperhitungkan, seperti arah angin, jarak, bidikan, bla bla bla. Terserahlah. Sejujurnya aku tidak terlalu peduli pada segala tetek bengek dalam memegang senjata. Toh, selagi peluru bisa ditembakkan ketika pelatuk kutarik, kurasa aku sudah dikatakan bisa menggunakan pistol. Entah ke arah mana peluru itu mendarat, itu urusan nomor sekian.

The Victorious VICTORYWhere stories live. Discover now