"SENJA AYU DAMARA! PULANG, SEKARANG!!"

***

Gandhi menyetir pulang ke rumahnya dengan kecepatan tinggi. Sesampainya di rumah, Senja berlari ke kamarnya yang disusul oleh Gandhi dan mereka mulai bertengkar lagi.

Seperti biasa, rumahnya kelihatan sepi pada tengah malam. Bi Minah mungkin sedang tidur di kamarnya. Sedangkan ayahnya, tentu saja masih belum kembali dari perjalanan dinasnya. Sehingga tinggallah mereka berdua yang beradu argumen dengan nada yang saling menyalahkan satu sama lain.

"Aduhh, sakiit! Kamu kenapa sih, Gandhi?!" Senja menjerit tidak senang, berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Gandhi yang kasar.

Gadis itu lantas menghempaskan tangannya. Namun di saat yang sama, ia juga terpojokkan oleh Gandhi yang menyudutkan dan membalas perkataannya.

"Kenapa? Aku kenapa? Kamu yang kenapa! Tadi itu apa, hah!" Gandhi sudah tidak dapat lagi menahan amarahnya. "I can't believe it, did you just try to offer your body again? F*ck!"

Ini pertama kalinya Gandhi kehilangan kendali sampai-sampai bisa mengumpat sekasar itu. Sesungguhnya ia tidak bermaksud mengatakannya pada Senja. Hanya saja, ia tidak bisa menahan emosinya sekarang.

Senja sempat bungkam selama beberapa detik sebelum membuka mulutnya lagi. Mengeluarkan nada tinggi yang terbawa emosi menanggapi seruan Gandhi.

"Kalo iya, kenapa!? Cuma ini yang bisa aku lakukan. This is who I am. The only thing I can do by myself. So deal with it!"

Gandhi memekik spontan menanggapi sikap acuh tak acuh Senja, "Oh d*mn it, Ja! Why are you doing this? Why can't you be a better person? I didn't save you to be like this!"

"What—"

Senja terpaku di tempatnya sejenak, tenggorokannya serasa tercekat dan mulai berujar seperti orang yang terlihat ingin menangis.

"Who asked you to save me? I didn't ask you to save me! I never asked..."

Senja terlihat begitu emosional. Nada suaranya terdengar naik turun seperti roller coaster. Baru satu detik ia seakan hampir kehilangan suaranya, namun pada detik berikutnya Senja mulai menjerit tidak terima, "...to be like this!!"

Selesai mengungkapkan kemarahannya, mata Senja mulai berkaca-kaca. Tapi ia seperti berupaya keras menahannya, agar air matanya tidak jatuh.

"Just leave me alone. I'm a broken person and I can't be fixed. So don't bother wasting your time on me."

"Ja..."

Mendengar ucapan Senja yang menyayat hati membuatnya tersadar, kalau ia sudah melukai perasaannya.

"GO AWAY!!"

Penolakan keras Senja menjadikan Gandhi tak kuasa untuk memeluk dirinya. Tindakan Gandhi sudah tidak sejalan dengan akal sehatnya. Ia melumat dengan kasar bibir Senja. Tidak peduli meskipun gadis itu meronta, berteriak, dan berusaha untuk lepas darinya.

Gandhi tidak tahu mengapa ia mencium Senja. Mungkin perasaannya kacau setelah pertengkaran hebat dengan Flo, kekasihnya. Atau mungkin ia hanya dikuasai amarah sesaat karena tidak rela Senja menjual lagi tubuhnya.

Senja yang tadinya melawannya dengan sekuat tenaga melemah, membuka mulutnya dan mulai membalas ciuman Gandhi. Senja juga tidak mengerti mengapa ia melakukannya, tapi lama-kelamaan ia menikmatinya.

Gandhi dan Senja pun memagut bibir masing-masing dengan napas memburu dan melupakan apa yang baru saja mereka ributkan sebelumnya.

Reaksi Senja semakin menjadikan Gandhi hilang kendali. Kehangatan tubuh gadis itu merangsang gairahnya. Entah sejak kapan, ia sudah membopong Senja ke atas tempat tidurnya.

Keduanya kini saling menekan dengan liar. Gerakan yang sebelumnya tidak beraturan itu kini sudah lebih seirama. Gandhi sudah tidak bisa mundur lagi. Hanya satu hal yang berada di benaknya sekarang. Ia ingin menjadikan Senja miliknya seorang.

Sebaliknya, ciuman Gandhi yang memabukkan membangkitkan hasrat yang selama ini terbenam dalam diri Senja. Ia bukannya tidak biasa dengan sentuhan lelaki. Hanya saja... selama ini Senja tidak pernah melakukannya dengan hati.

Sebelum meneruskannya, Gandhi sempat menatap mata Senja lekat-lekat. Kalau saja Senja memohon sekali lagi padanya, mungkin ia akan menghentikannya. Namun bahasa tubuhnya menyiratkan kalau ia tidak keberatan melakukannya.

Dari tatapan matanya, Gandhi tahu kalau mereka berdua sama-sama menginginkannya. Malam yang dingin pun menghangat dan menjadi saksi atas perbuatan mereka berdua yang berlangsung sampai pagi menjelang.

***

Reverse (Every scar has a story)Where stories live. Discover now