"Gue yang minta maaf Rin. Maaf ya, gue nggak guna. Gue nggak bisa berbuat apa-apa padahal lo kesakitan banget kayak gitu." sesal Senja meminta maaf pada Rin,

Rin menepuk-nepuk lembut bahu Senja, "Lo kenapa mendadak jadi mellow gini sih Ja? Gue nggak papa kali." seraya setengah mengajaknya bercanda.

"Gue nggak ngerti kenapa lo nggak ke rumah sakit aja sih Rin... kondisi lo kan udah tambah parah..." tanya Senja lagi tidak mengerti.

"Hei... gue nggak pa-pa Ja, beneran. Lagian elo tau kan gue benci rumah sakit. Enakan juga di rumah sendiri." jawab Rin berusaha menghibur Senja.

Namun di saat yang sama, pandangan matanya melayang entah kemana dalam pelukan sahabatnya.

Sudah tiga bulan ini Rin berhenti bersekolah karena kondisi kesehatannya yang semakin memburuk. Senja tidak mengerti kenapa Rin tidak pergi ke rumah sakit tapi malah di rumah saja. Sedangkan Rin tidak sampai hati mengatakan pada Senja kalau dokter telah angkat tangan terhadap kondisinya.

Rin mengingat vonis dokter padanya tiga bulan yang lalu. Waktu itu ia menguping dari balik pintu rumah sakit. Ia bisa mendengar orangtuanya yang menangis ketika dokter mengatakan ia hanya memiliki waktu beberapa bulan lagi.

Tidak ada yang tahu kalau Rin mendengarnya. Ia juga tidak bercerita pada siapa-siapa.

Harusnya Rin bersedih. Harusnya ia menangis. Tapi Rin bahkan tidak merasakan apa-apa lagi. Aneh memang. Mungkin setelah sekian lama berperang melawan rasa sakit dalam tubuhnya, Rin sudah sampai pada titik yang membuatnya benar-benar lelah.

Segala macam bentuk pengobatan mulai dari medis, alternatif, kemoterapi, semuanya sudah ia coba. Tetapi percuma saja. Rin tahu penyakitnya tidak akan bisa disembuhkan. Yang mereka lakukan selama ini hanya memperlambat prosesnya, yang mana itu justru semakin menyiksanya.

Tapi tentu saja Rin tidak pernah memperlihatkan kesedihannya di depan orang lain. Rin anak baik. Sejak kecil ia paham kalau hidupnya selalu merepotkan orang lain. Rin tidak ingin menambah beban ayahnya, ibunya, Gandhi, atau Senja sahabatnya dengan bersedih memikirkan dirinya.

Pada akhirnya, yang bisa dilakukannya hanya bertahan dan tersenyum supaya mereka tidak mencemaskannya.

Tapi sampai kapan ia bisa bertahan?

Rin tidak tahu.

Ia hanya berusaha menjalani hidup dengan normal. Berharap waktu berjalan lambat dan menikmati setiap detik yang ia punya bersama orang-orang disayanginya.

***

"Ja? Rin?"

Gandhi heran menemukan rumah dalam keadaan sepi. Ia baru saja pulang dari apotik dan mengucapkan salam. Tapi baik Rin maupun Senja tidak ada yang menjawab salamnya.

Aneh. Kemana mereka semua pergi? Tanya Gandhi dalam hati.

Begitu melangkahkan kaki ke dalam rumahnya, Gandhi menemukan pintu kamar adiknya setengah terbuka. Gandhi jadi berasumsi kalau Rin dan Senja pasti berada di sana. Ia pun berinisiatif masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

"Rin?"

Namun alangkah terkejutnya Gandhi. Bukannya menemukan adiknya, ia malah mendapati Senja yang sehabis mandi tengah berganti baju tepat di hadapannya.

Terkejut melihat sosok Gandhi yang tiba-tiba muncul begitu saja di depannya, Senja menjerit keras menutupi tubuhnya. Lalu spontan melempar botol lotion di tangannya sampai mengenai kepala sahabatnya.

PLAK!

"Aaaarrgghh... DASAR MESUM!"

BRUAKKK!!!

Berakhir dengan pintu yang dibanting tepat di depan kedua matanya.

***

Rin masih tertawa terpingkal-pingkal mendengar cerita Senja. Ia tak mengira kalau situasi akan berbalik begitu cepat seperti ini. Baru saja ia melerai pertengkaran keduanya, mereka sudah bertengkar lagi dengan masalah baru yang terdengar begitu menggelikan baginya.

"Kok elo malah ngetawain gue sih, Rin!" geram Senja tidak terima, meski sebetulnya ia sadar kalau itu bukan seratus persen salah Gandhi.

Senja juga ceroboh. Lupa menutup pintu setelah selesai menumpang mandi di kamar Rin. Tapi tetap saja. Senja merasa malu setiap kali mengingat Gandhi yang hampir melihatnya telanjang bulat, dan itu betul-betul membuatnya awkward.

Kejadian semacam ini mungkin lucu saat mereka masih kecil. Namun tidak setelah mereka berumur belasan tahun. Mereka bertiga sudah beranjak remaja sekarang. Banyak hal yang berubah darinya, termasuk tubuhnya.

Sial. Memikirkannya saja wajah Senja sudah memerah seperti kepiting rebus.

"Ya abis... Gue ngga tahan liat pala Kakak gue benjol. Gila, lo Ja! Kakak gue yang cool abis itu lo timpuk gitu aja pake botol!" jawab Rin menanggapi Senja dengan masih tertawa terbahak-bahak.

"Cool apaan!? Amit-amit dah!" protes Senja lagi.

Rin tertawa, "Tapi lo suka kaan, sama Kakak gue yang ganteng itu?" godanya sengaja memancing sahabatnya itu agar bertambah salah tingkah.

Sejak dulu Rin memang suka menjodoh-jodohkan mereka berdua. Tapi baik Gandhi maupun Senja selalu bertingkah seolah ingin muntah ketika menanggapinya.

"Najis! Nggak bosen lo jodoh-jodohin gue mulu ama Kakak lo? Kayak nggak ada cewek laen aja!"

"Emang nggak ada! Cuman elo yang bisa nerima keabsurdan Kakak gue!" sahut Rin di sela tawanya tak mau kalah, masih belum menyerah mempromosikan kakaknya.

"Sarap lo!"

Mulut Senja menyumpahi sahabatnya, tapi dalam hati ia sadar kalau otaknya tidak sejalan dengan ucapannya. Apa yang dikatakan Rin tidak salah. Seperti Rin yang memiliki wajah secantik boneka porselen Jepang, harus Senja akui kalau Gandhi memang berwajah tampan. Bahkan, terlalu tampan.

Wajah Gandhi terpahat sempurna dengan garis rahang yang tegas, bibir tipis, hidung mancung, mata yang teduh dan kulit seputih susu. Sayangnya fisik yang sempurna itu tidak ditunjang dengan sifat yang menyenangkan. Kalau bukan karena sifat buruknya yang jutek dan angkuh, Gandhi pasti sudah menjadi idola cewek-cewek di sekolah mereka.

Tok... tok... tok...

Lamunan Senja berakhir begitu mendengar suara ketukan pintu dari balik kamar Rin. Ia mengenali suara berat itu yang datang dari mulut Gandhi.

"Ja... maafin gue ya. Gue nggak sengaja," pinta Gandhi dengan nada datar sekaligus canggung karena menahan malu.

"Paan sih! Males ah!" usir Senja yang masih mengambek dari dalam kamar.

"Gue nggak lihat apa-apa kok Ja, beneran. Lagian badan lo juga nggak bagus-bagus amat..."

Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutnya. Kepolosan Gandhi membuatnya tidak sadar telah memancing emosi Senja.

"Apa lo bilang!? Cari mati lo yaa!"

Tawa Rin terdengar semakin keras, begitu Senja membuka pintu lalu mengejar Gandhi dengan buas. Mereka berdua berlarian mengitari ruang tengah. Sampai Senja memukuli Gandhi yang mengaduh-ngaduh dan meminta ampun kepadanya.

*** 

Reverse (Every scar has a story)Where stories live. Discover now