"Tapi Ja, tetep aja! Elo nggak bisa kayak gini terus!" bantah Gandhi masih bersikeras.

"Gue bisa apa, Dhi? Cuma nyokap gue yang gue punya. Kenapa sih lo ngga bisa ngertiin gue!?"

Wajah Rin memucat mendengar kedua orang yang disayanginya itu bertengkar lagi. Bukan karena pertengkaran itu sebenarnya, tapi serangan itu datang lagi mengganggu dirinya. Dadanya terasa amat sesak dan tak mampu lagi bernapas. Rin mulai terbatuk-batuk hingga mengejutkan Gandhi dan Senja.

"Uhuk! Uhuk! Uhuk!"

"Rin? Rin!? Elo kenapa Rin!"

Senja melupakan pertengkarannya dengan Gandhi. Ia segera berlari menopang tubuh Rin agar tidak jatuh. Sebetulnya kejadian seperti ini bukan yang pertama kalinya. Tetapi Senja tidak pernah terbiasa. Ia juga tidak tahu apa yang harus dilakukan setiap kali penyakit itu menyerang tubuh sahabatnya yang lemah.

"Minggir,"

Gandhi memberi isyarat pada Senja untuk menyingkir, sebelum mengambil alih tubuh adik semata wayangnya itu. Tangannya menyeka mulut Rin yang berlumuran darah dengan tisu akibat batuk hebat yang melanda tubuhnya.

"Rin... Tarik napas panjang, lepaskan. Rin, hei... tenang. Ayo, ikuti Kakak. Satu... dua..."

Suara Gandhi yang penuh kesabaran menenangkan Rin. Menuntunnya agar dapat bernapas kembali sedikit demi sedikit. Rin berusaha menahan rasa sakitnya dengan menatap mata Gandhi. Seolah hanya kakaknya itu satu-satunya tumpuan harapannya seorang.

Sedangkan Senja masih berdiri kaku di tempatnya. Mengutuk dirinya sendiri yang selalu menjadi tidak berguna setiap kali sahabatnya itu berjuang menahan sakit yang ada dalam dirinya.

***

"Gimana rasanya, Rin? Udah baikan?" tegur Gandhi khawatir. Serangan itu sudah berlalu sepuluh menit yang lalu tapi ia masih mencemaskannya.

"Ngga pa-pa Kak, udah baikan kok." jawab Rin memaksakan senyumnya. Tidak ingin kakaknya itu terus-menerus mengkhawatirkannya.

"Beneran?"

"Iya, beneran. Oh ya Kak, boleh minta tolong beliin minyak kayu putih nggak? Yang di kamar habis nih," pinta Rin kemudian.

"Oke, oke. Kakak beliin ya. Apa lagi? Kamu mau makan? Mau makan apa?" tanya Gandhi masih dengan raut wajah cemas.

Tidak heran, Gandhi memang sangat menyayangi adiknya. Lelaki yang super egois dan menyebalkan itu bisa berubah menjadi super perhatian setiap kali Rin jatuh sakit.

"Enggak usah, itu aja. Oh ya sama beliin plester juga ya Kak, buat Senja." tambah Rin sembari menunjuk ke arah luka-luka lecet Senja akibat perbuatan ibunya.

Gandhi benar-benar lupa dengan semuanya apabila Rin tidak mengingatkannya. Ia pun segera bergegas melakukan apa yang diperintah adiknya.

"Oke, kalo gitu Kakak tinggal dulu ya Rin. Baik-baik di rumah ya. Ja, gue titip Rin ya."

"Ha...ah?" ucapan Gandhi menyadarkan Senja dari lamunannya, yang menatap sedih kondisi sahabatnya.

"Rin. Gue titip, keluar dulu bentar. Oke?" lanjut Gandhi mengulangi perkataannya lagi.

"Hmm, oke, oke." sahut Senja menganggukkan kepalanya mengamini permintaan Gandhi.

Sepeninggal Gandhi, Rin mengajak Senja bicara. Agaknya ia menyadari perubahan sikap sahabatnya yang masih terlihat shock dengan serangan yang baru saja dialaminya.

"Maaf ya Ja, elo harus ngeliat gue kayak gini."

Mendengarnya, air mata Senja yang sedari tadi tertahan di pelupuk matanya tumpah dan mulai menangis sesenggukan memeluk Rin.

Reverse (Every scar has a story)Where stories live. Discover now