When We First Met

791 31 0
                                    

Sebelum Senja, Gandhi adalah seorang lelaki yang memandang dunia hanya dari sisi buruknya saja.

Sebelum Gandhi, Senja adalah seorang gadis yang selalu bersemangat dalam menghadapi dunia.

Tetapi Gandhi tidak tahu, hidup manusia bisa berubah.

Hati manusia bisa berubah. Bahkan berbalik arah, seratus delapan puluh derajat berbeda dari sebelumnya.

Hanya ada satu hal yang tidak akan pernah berubah. Luka yang membekas di hati seseorang. Luka yang menorehkan kepedihan, rasa sakit, dan kenangan yang sulit untuk dihapuskan.

Luka itu akan terus ada, dan akan selalu ada.

***

Jakarta, 1996

Pagi itu Gandhi kecil pergi ke halaman belakang rumah untuk menjemur pakaian. Gita Rinjani Hadikusumo, adiknya kembali memuntahkan makanannya. Gandhi pun tidak memiliki pilihan selain membereskannya.

Kenapa harus ia yang melakukannya? Karena ayah dan ibunya selalu sibuk bekerja. Atau entah melakukan apa, Gandhi tidak tahu. Juga tidak berniat mencari tahu. Singkat cerita, tinggallah ia yang tersisa untuk merawat adiknya.

Rin yang malang. Sejak bayi ia memang sudah sakit-sakitan. Beragam cara pengobatan telah dicoba oleh orangtua mereka. Namun sampai sekarang belum ada perkembangan yang berarti pada kondisinya.

PRAAANGG!

Lamunan Gandhi buyar seketika setelah mendengar suara piring pecah yang berasal dari rumah tetangganya.

Apa yang terjadi?

Apakah mereka bertengkar lagi? Gumam Gandhi dalam hatinya.

Kemarin, ada tetangga baru yang pindah ke sebelah rumahnya. Seorang ibu muda yang cantik jelita beserta anak perempuannya. Hanya saja baru semalam tinggal di sana, Gandhi sudah mendengar banyak keributan yang berasal dari rumah mereka. Sepertinya mereka adalah keluarga yang bermasalah.

Tapi sudahlah, buat apa juga memikirkannya. Tidak ada gunanya baginya. Lebih baik ia tidak pernah berhubungan dengan mereka, maka hidupnya pasti akan baik-baik saja.

BRUAKKK!

Baru saja berpikir demikian, tiba-tiba seseorang berlari menubruk dirinya. Ember cucian yang ada di tangan Gandhi berterbangan. Disusul dengan bunyi gedebuk yang berasal dari pantatnya, yang kini sudah menyentuh tanah.

"Aduhh!" jerit Gandhi terkejut, tenggelam dengan teriakan lain yang datang dari arah kejauhan.

"JAAA..." suara itu terdengar familiar di telinga Gandhi. Sepertinya itu adalah suara tetangganya.

Gandhi memperhatikan sosok gadis kecil yang meringis di depannya. Apakah dia adalah anak perempuan tetangganya?

"Dek!"

Gandhi tersentak. Di hadapannya sudah ada ibu muda itu, yang dikenalinya sebagai tetangga barunya.

"Ya...?" respon Gandhi spontan, kebingungan.

Mata Gandhi mencari-cari sosok gadis kecil tadi. Rasanya baru sedetik ia berada di hadapannya, tapi sekarang ia sudah menghilang. Berganti dengan sosok ibu muda itu yang menanyainya dengan galak.

"Kamu tahu nggak anak Tante pergi ke mana?"

Gandhi bengong, bingung mau menjawab apa. Ibu itu terlihat tidak ramah kepadanya.

Oh. Gandhi menemukannya. Rupanya gadis itu sudah bersembunyi di semak-semak yang berada tak jauh dari mereka.

Biasanya, Gandhi bukan tipe orang yang suka ikut campur urusan orang lain. Namun entah mengapa, ekspresi gadis itu yang memohon padanya membuatnya jadi tidak tega.

"Enggak, Tante." jawabnya akhirnya berbohong juga.

"Oh. Ya udah kalo gitu."

Beruntungnya, ibu itu tidak mencurigainya. Ia melenggang begitu saja meninggalkannya, dengan masih meneriakkan nama anak perempuannya.

"JAAA..."

Setelah ibu itu berlalu, Gandhi cepat-cepat menutup pintu pagar rumahnya. Bersamaan dengan gadis kecil itu yang melompat sambil memeluk dirinya.

"Makasih yaa Kak!"

Terkejut dengan reaksi gadis itu, Gandhi langsung mendorongnya jauh-jauh. "Kamu siapa?" hardik Gandhi dengan nada yang tidak bersahabat.

Meski ia mengenalinya sebagai tetangganya, Gandhi tetap reflek menanyakan namanya karena ini adalah kali pertama mereka bertemu secara langsung.

"Kenalin aku Senja, Kak! Aku baru pindah ke sana! Kalo Kakak siapa?" seru gadis itu memperkenalkan namanya, seraya menunjuk ke arah rumahnya.

Senja. Ini pertama kalinya Gandhi mendengar namanya.

Ia mengamati lagi sosoknya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Kelihatannya mereka seumuran. Gandhi bisa melihat kemiripan gadis itu dengan ibu muda yang baru saja mendatanginya tadi.

Sebetulnya gadis itu cukup manis, rambutnya ikal kecoklatan. Matanya bulat berhiaskan bulu mata yang lentik dan panjang. Hidungnya cukup mancung walaupun agak bengkok. Bibirnya mungil berwarna ceri. Ditambah dengan lesung pipit yang menghiasi pipinya, saat tersenyum lebar memperkenalkan dirinya.

Tapi sayangnya gadis itu tampak dekil dan tidak terurus. Tubuhnya juga dipenuhi dengan bekas-bekas kehitaman, seperti habis terjatuh.

Tunggu dulu. Kalau memang jatuh, kenapa bisa sebanyak itu?

"Ngapain, Kak?"

Di saat yang sama, adiknya muncul dari dalam rumah memanggil mereka berdua. Rupanya ia mendengar keributan tadi yang ada di belakang rumah mereka.

"Whoa! Kok muka kalian sama?" komentar Senja terbelalak menunjuk ke arah dua bersaudara itu.

Rin tertawa melihat tingkah Senja, "Ya iyalah! Kami kan kembar identik, jadi persis!"

Gadis itu membulatkan mulutnya sampai membentuk huruf o besar, "Wooo... keren! Baru ini aku punya temen kembar, kalian berdua cantik sekali!" jeritnya tak dapat menyembunyikan rasa kagumnya.

Teman? Sejak kapan kami jadi temannya? Gandhi menggerutu dalam hati, sekaligus kesal karena gadis itu menyebutnya cantik.

"Kamu lucu. Nama kamu siapa?" Rin tertawa lagi sembari menyapanya dengan ramah.

"Nama aku Senja! Kalo kamu siapa?"

"Rinjani. Panggil aja Rin. Kalo ini Kakak aku, Gandhi."

Gandhi mendesah. Menyayangkan sikap adiknya yang terlalu ramah pada orang asing yang baru mereka kenal. Tapi Gandhi tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegahnya. Tiba-tiba saja adiknya itu sudah mengajaknya masuk dan memberikan tur singkat mengenai isi rumah mereka.

***

Reverse (Every scar has a story)Where stories live. Discover now