12- Help Me

93 45 0
                                    

Suara isakan Merinsya memenuhi kamar bernuansa putih itu, di hadapan nya Arensha tengah terbaring lemah. Gevin juga berada di sana beda nya ia terlihat sibuk meneliti kamar Ren, sesekali tangan nya menyentuh potret Ren di dalam figura.

"Vin, lo boleh pulang" seru Erin di selingi dengan isakan kecil, tangis nya juga mereda, "Gue bisa jaga Ren." Lanjut Erin sambil melirik Gevin yang masih berjalan-jalan di kamar Ren.

Kali ini Gevin menghentikan langkah berlanjut mendekati tempat tidur di mana Ren terbaring. Tangan Gevin menyentuh dahi Ren, di sana keringat terus bercucuran.

"Kayak nya Ren harus di bawa ke Rumah Sakit" ujar Gevin sambil melirik Erin sekilas.

"Gak perlu" jeda sejenak kali ini Erin menatap Gevin sepenuhnya, "Lo boleh pulang" seru Erin tegas. 'Dokter sekalipun gak bakal bisa nyembuhin Ren' pikir Erin.

Gevin menaikan satu alis nya, matanya masih meneliti raut Ren yang terlihat gelisah padahal dia sekarang kehilangan kesadaran. Dahi nya beberapa kali mengernyit, Gevin duduk di sisi ranjang dan tangan nya meraih tubuh Ren mendekap nya pelan. Tangan nya mengusap usap kepala Ren dan merasakan deru nafasnya yang mulai teratur Gevin berpikir sejenak, kenapa harus Arensha?. Gevin juga penasaran dengan mobil hitam yang selalu mengikuti Arensha.

Erin yang melihat itu hanya bisa terdiam, ia bingung harus mengusir nya seperti apa dan bagaimana cara agar Gevin melepaskan dekapan nya, tapi melihat wajah Ren di pundak kanan Gevin yang mulai membaik, Erin mengurungkan niatnya, tidak masalah asalkan Ren baik-baik saja.

"Healty" bisik Gevin di telinga Ren.

Erin menatap Ren yang masih berada di dalam dekapan Gevin, setelah itu berdiri sebelah tangan nya men dial no Kak Jean. Ponsel berwarna navy menempel di telinga Erin dan sebelah tangan nya menutup pintu kamar Ren dengan pelan.

'tut-tut-tut' panggilan itu masih berbunyi sampai akhirnya Erin mendengar suara sapaan Kak Jean.

"Halo"panggil Kak Jean tenang.

Erin bersender di tembok dekat pintu, "Halo" jawab Erin pelan, nafas nya tiba-tiba tercekat, mengingat bagaimana kaku nya tubuh Ren saat itu.

"What wrong?" tanya Kak Jean yang mendengar suara pelan Erin.

Erin menangis saat itu juga, air mata nya yang sejak tadi ia tahan luruh. Erin pikir ia harus kuat tanpa memperlihatkan sedikitpun kekehwatiran dengan sosok sahabatnya, tapi nyatanya melihat Ren sekarang Erin tak sanggup melihatnya seperti itu lagi untuk kedepan nya.

"Arensha kenapa?" seru Kak Jean tenang, Erin bukan orang yang mudah menangis dan hanya ada satu alasan terbesarnya menangis adalah Arensha. Kali ini Erin menundukan wajahnya menatap marmer, bibir nya merapat agar isakan nya tak terdengar sampai ke kamar Ren.

"Ren belum sadar kak" suara Erin terdengar lebih tenang. Erin menghembuskan nafasnya "Kejadian kali ini Ren kelihatan kayak mayat hidup. Padahal Erin udah cek semua tempat dan sengaja pasang CCTV di aula" ujar Erin panjang lebar.

Kepalanya berpikir jauh setelah itu matanya membulat, "Ah, Erin gak masang Cctv di jalan belakang sekolah dan jalan masuk nya ke kolidor kelas 10 lantai bawah" Erin melewatkan hal penting, kenapa bisa terlewat?, itu juga hanya ada Cctv di kolidor depan.

"Besok Erin kasih rekaman nya" ujar Erin kembali.

Setelah mengatakan hal itu Erin menghela nafas, "Kak Jean bisa ke sini?, periksa keadaan Ren"

"Malam ini kakak lagi ngurus pekerjaan tambahan, data kator di curi dan sistem keamanan lagi kacau" jeda sejenak, "Kalo besok Kak Jean usahain, tapi malam ini kak Jean bener-bener gak bisa" di sebrang sana Kak Jean terdengar menghela nafas.

"Ren gak ada gejala lain kan?" tanya kak Jean kembali.

Erin tiba-tiba tersenyum mengingat Gevin memeluk Ren dengan hangat, "Kali ini keadaan Ren gak terlalu parah" jawab Erin matanya sekilas melirik pintu kamar di samping nya, "Ada Gevin" gumam Erin pelan.

"Gevin siapa?" tanya Kak Jean terlihat bingung, setahu nya Ren tak terlalu dekat dengan orang lain selain Erin.

"Temen sekolah" jawab Erin dengan nada bertanya. Setelah itu Erin kembali menghela nafas, dadanya tak terlalu sesak kadang menangis memang dapat menghilangkan sesak. Senyum lega terukir manis di bibi Erin.

"Oke, lain kali Kakak nanya, tapi buat malam ini kayaknya kalian butuh cowok buat jagain" Kak Jean berhenti berbicara "Cowok itu bisa di andalin kan?" kali ini suara Kak Jean terdengar bertanya penuh minat.

Erin tersenyum, "Kak gak perlu khwatir, dia bisa kok"

"Bi Inah tau belum keadaan Ren?" tanya kak Jean kembali

Erin menggeleng kecil sebelum menjawab, "Erin langsung masuk ke rumah Ren, Bi Inah kayaknya udah tidur" Erin meliarkan pandangan nya ke segela penjuru ruangan "Besok Erin kasih tau".

Setelah mengakhiri panggilan dengan Kak Jean, Erin mendekati meja Tv di ujung ruangan. Erin merasa ada yang berbeda dari tempat Ren, biasanya pot kecil berada di depan jendela tapi sekarang berada di atas nangkas meja.

Setelah itu Ren mengetik sesuatu di room chat pribadinya, kakinya melangkah kembali memasuki kamar Ren. Memutar knop dan menutupnya kembali dengan pelan. Kakinya mendekati tempat tidur Ren yang sudah berbaring kembali. Erin menengokan wajah melihat Gevin di sofa sedang membaca buku koleksi Ren di tangan nya.

Erin menatap Gevin cukup lama, 'Bisakah dia di percaya' pikir Erin.

'I need someone to to trust and I also need someone who can take care of me. How will it happen the important thing is he's on your side'

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kadang kita ketakutan dengan keadaan yang terjadi, sendirian di tengah kejadian  dan menyerah untuk bertahan. Apakah itu akan berbeda jika seseorang ada di sisi kalian bukan untuk mengucapkan kata-kata seperti aku disini, tapi dia yang berada di sisi kalian dan melangkah di depan kalian agar kalian baik-baik saja.

Arensha butuh sosok itu.

-Lentera-

07 Desember 2020

Revisi

Story Red Eyes: Playing Eyes (END) Where stories live. Discover now