26- All Be

17 11 0
                                    

Malam hari, Ren mengatur pernapasan nya, melihat sekeliling. Setelah berhasil mengusir Ren dari rumah nya dengan susah payah, Erin akhirnya setuju dan memenuhi usiran Ren dengan sangat terpaksa. Tapi yang pasti Besok pagi Erin akan menjemput Ren dan seterusnya akan tinggal bersama keluarga Erin. Ia baru saja ia membereskan kamar nya lebih tepat berkemas seperti orang yang hendak pergi jauh. Beberapa dus menumpuk si sisi dinding, ini akhirnya.

Alasan lain nya karena kepindahan nya yang mendadak setelah membuat kesepakatan dengan om Aldo di rumah sakit waktu itu. Ren menyetujui syarat yang di berikan oleh Om Aldo. Ada hal lain lagi yang membuat nya berkemas, entah kenapa Ren pikir ia tak akan pernah bisa pulang lagi ke rumah nya. Ia akan merindukan rumah meski rumah nya tak ada kehangatan lagi sejak 10 tahun belakang, tapi ia masih ingat kenangan kenangan kecil bersama ibu nya.

Tekad nya sudah bulat, tidak ada lagi korban permainan bodoh melibatkan nyawa. Kali ini Ren akan pergi dengan lebih tenang jika mengakhiri nya segera. Rasa bersalah lebih membebani nya dari pada di ujung kematian, malahan mati lebih baik dari pada rasa itu menumpuk di dada nya. Lebih sesak dan membuat nya menderita.

Kring...kring...kring

Getaran ponsel, panggilan masuk mengalihkan pandangan Ren. Mengambil ponsel dari nangkas, nomor tak di kenal. Merasa penting Ren akhirnya menmpelkan ponsel ke sebalah telinga.

"Ini gue, Hintar" seru tiba-tiba.

Setelah mengetahui siapa yang memanggil, Ren menarik kursi belajar nya, "Hmmm" Ren membelas dengan gumaman.

"Gue udah ambil kemungkinan yang ada dari cerita lo tadi dan cerita kak Naya. Karena tiga orang terakhir beruhubungan cerita nya lebih mudah di lihat dengan teliti"

Bilbarry and Delphinium, gue udah masukin buat kemungkinan yang ada dan dua pilihan itu yang paling masuk akal dengen semua pertanyaan dua orang terakhir"

Ren mengangguk setuju, "Pengkhianatan dan kepalsuan. Masuk akal"

"satu lagi jaga-jaga kalo H nya gue, Lily kuning" ujar Hintar kembali

Ren mendengus, "Udah gue bilang bukan lo and salah atau benar, maksud pilihan lo itu apa?"

"Buat jaga-jaga aja" Suara barang jatuh dan heboh nya Hintar terdengar di sambungan telepon.

"Ren gue lagi sibuk, hasil autopsi sama surat laporan buat penjagaan dua orang itu perlu gue buat, urusan yang lain gue serahin ke lo" ujar Hintar terburu-buru.

"Buat terakhir kali nya gue mau minta tolong sama lo" Ren menghela nafas dan melanjutkan ucapanya kembali tanpa menunggu jawaban dari sebrang.

"Kalo tanggal 20 gue gak ada di rumah gue, lo cari kotak biru kecil di bawah kasur. Gue belum punya cukup bukti buat ngungkapin semuanya, bisa aja tebakan gue saat ini meleset jadi inget kata kata gue barusan. Setelah nya lo bisa nyelesain semuanya" ujar Ren

Mendengar suara helaan nafas berat, "Gue hargaain pilihan lo, dan buat sisa nya lo bisa serahin dan percayain ke gue" hintarberdehem, "Tapi Ren gue ingetin satu hal titik awal penalaran lo salah, semuanya bukan berawal dari lo"

"Tuhan udah takdirin semuanya, lo gak salah apa-apa"

Ucapan terakhir itu mengakhiri panggilan belasaan menit barusan. Setalah menyimpan handphone di atas nangkas, mata nya tak sengaja melihat tumpukan CD dalam dus di pojok ruangan. Ren mengambil salah satu dan memutar agar tertampil jelas di layar televisi, setelah nya ia mengambil duduk di atas karpet yang berhadapan langsung dengan televisi.

--Video Player--

'Ayah'

'Apa, putri ayah' ayah nya buru-buru menengok menanggapi panggilan anak nya.

'Ayah bakal lakuin apa pun kan buat Aren'tanya Ren sambil bersender di bangku taman bermain, terlihat lucu.

Senyum mengembang terlihat di garis wajah tegas ayah nya 'Pasti nya dong. Apa sih yang enggak buat tuan putri'

Arensha yang sudah beralih berada di dalam pelukan ayah nya tersenyum senang, 'kalo gitu Ren pengen permen kapas' tunjuk anak kecil itu arah samping dimana penjual permen kapas berada.

Ayah nya mengecup pipi gembul anak nya gemas, 'Yaudah ayahbeli dulu'

Aren berumur 6 tahun itu mengangguk berbinar.

'Mamah' panggil Aren dengan senyuman manis.

Mamah nya yang memegang kamera sejak tadi merekam putri nya menyahut.

'Kenapa?' tanya mamah nya sambil berjongkok dan menvidio putri nya.

'Aren sayang mamah' senyuman anak kecil itu terdengar polos 'Ayah juga'

Terlihat tangan yang lembut itu mencubit pipi putri nya dengan gemas, 'Mamah juga sayang Aren, Ayah juga'

Senyum kecil dan tangisan yang sulit di tahan luruh begitu saja, Tv itu masih menyala menampilkan aktivitas keluarga kecil yang terlihat bahagia. Senyuman yang terukir di bibir Ren terlihat lebih menyakitkan.

Tadi tidak sengaja Ren menemukan rekaman lama saat membereskan kamar nya. Dan berakhir dengan menonton nya.

Semuanya gak bakal kayak gini, jika Ren mati. Menemui ibu nya di alam sana. Tangisan nya pecah memenuhui kamar nya berserta tawa dari vidio yang masih berputar.

'Hiks--hiks--hiks'

Ren memeluk lutut nya dan menenggelamkan wajah penuh tangis nya.

"mah-hiks Ren pengen hiks-ikut mamah' ujar Ren di sela isakannya pelan.

Tangis itu berlanjut di malam tak berbintang, melengkapi kegelapan malam. Dan terasa lebih suram. Tangisan itu terdengar jujur melelehkan sesak yang sejak lama Ren pendam seorang diri.

"mah- hiks-- ayah udah hiks hiks --gak sayang Ren lagi. Ren sekarang sendirian"

Ungkap Ren kepala nya masih tenggelam di lipatan kaki nya. Suara isakan tidak terdengar mereda, jika saja orang mendengar nya mungkin rasa sesak yang Ren alami dapat orang lain mengerti.

Kenapa?

Ren sering kali mempertanyakan kenapa harus diri nya, ini terlalu berat. Raga hidup tapi hati nya mati sejak lama. Padahal Ren masih ingin bermanja-manja dengan ibu nya waktu itu. Ren masih ingin merasakan masakan ibu nya.

'Hiks--hiks--hiks"

Di sisi lain suara tangis itu terdengar dengan jelas, wajah nya yang dingin menatap langit hitam sambil mendengarkan tangisan itu. Helaan nafas terdengar mata nya yang tajam lagi menatap langit melainkan menatap kamar Ren berada.

Wajah datar itu terlihat jelas meski di malam hari.

Gevin.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Stay with me? no, it's hurt

-Arensha Frinsa-

Revisi

Selasa, 03 Agustus 2021

Story Red Eyes: Playing Eyes (END) Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt