3- Kematian Pertama

178 82 6
                                    

Hari selasa, 21 september 2019.

Mendengarkan penjelasan sejarah memang tak terlalu membosankan, tapi jika melihat seisi kelas Ren yakin, teman-teman nya sedang mendengus tidak suka. Pak Arham guru sejarah meski memiliki wajah tampan dan terlihat baik ternyata sala satu guru killer, makanya jangan melihat seseorang dari covernya.

Ren mengangkat tangan di sela-sela penjelasan Pak Arham yang sudah memiliki 2 anak itu.

Pak Arham menatap Ren, "Silahkan Ren"

Ren menurunkan kembali tangan nya, "meski indonesia mendapat kritikan atas kemerdekan waktu itu, pasti juga ada beberapa negara yang mendukung kemerdekan indonesia," Ren terdiam sejenak "apakah bumi masih bertidak manipulatif waktu itu, memberi setelah itu di beri"

Pak Arham mengangguk memahami pertanyaan Ren, meski beberapa teman-teman kelas nya terlihat tidak mengerti dengan pertanyaan Ren.

"Sejak bumi di huni oleh manusia sejak itu kejahatan merajalela, rasa tidak adil, tidak terima bukan lagi menjadi pertanyaan setiap kali orang melakukan kesalahan tapi sudah menjadi kebiasaan, alasan nya kenapa manusia menjadi lebih kofentatip menilai sesuai objetif jika menuntungkan mereka menabah lagi agar lebih besar dan jika merugikan mereka mencari hal lain yang dapat menuntungan" jawab Pak Arham "masalah nya bapak tidak tau apa yang negara pertaruhkan saat itu untuk mendapat dukungan"

"Semangat merah putih, mungkin?" sahut Itha meski terdengar meragukan jawaban nya sendiri.

Pak Arham mengangguk, "bisa jadi. Tapi anak-anak terlepas dari apa yang negara pertaruhkan kita bisa mengambil hikmah sekarang kita merdeka, menikmati kebebasan yang waktu itu sulit sekali untuk di rasakan oleh para pejuang atau mungkin nenek kakek kita juga mengalami penjajahan itu."

Ren menggeleng tegas sambil kembali menyeruakan kembali pikiran nya, "memang sekarang kita bisa merasakan kebebasan, tapi sekarang buktinya indonesia masih menjadi negara berkembang, ketergantungan eletronik dari negara lain meski besi di export dari indonesia ke negara lain. Bukan kan itu ketertinggalan yang menjengkel kan,"

Pak Arham tidak bisa untuk menaan senyum lebar nya, anak didik nya yang satu ini memang berbeda.

"Nah Arensha jika hal itu menjengkelkan bagaimana jika untuk masa depan kamu berusaha untuk indonesia, untuk hari ini di cukupkan sekian" pak Arham mengucapkan salam setelah itu keluar berberengam dengan suara bel istirahat kedua di mulai.

Beberapa anak terlihat memilih keluar memilih mengisi perut di kantin. Arensha mengedarkan pandangan nya setelah itu bergumam sendiri

"Tira gak masuk?, padahal gue mau ambil buku catatan" seru Ren dengan suara kecil, Ren juga melihat ke bangku depan, "yes, Merinsya juga gak masuk."

Ren baru saja hendak mengambil posisi tidur, suara notifikasi dari ponsel nya menarik Ren untuk membuka ponsel nya.

+6289 3209 450**

Gue tunggu di taman deket laboratorium, mau nagih janji

Gak pake lama.

Ren mendengus pasti Rega cowok kemarin, awalnya Ren tak mau pergi tapi karena ia tak mau berhutang budi kepada orang lain Ren memilih bangkit dan berjalan keluar dari kelas nya.

Hanya 2 tempat yang sering Ren kunjingi di sekolah, pertama kelasnya sendiri dan kedua perpustakan, kalo kantin Ren merasa tidak perlu kesana. Setiap hari Ren sering membawa bekal dari rumah, sesekali sih ke kantin itu juga jika Erin memaksanya untuk ikut.

Ren memperlambat langkahnya, ketika melihat sosok tegap di depan nya, Rega.

Setelah berdiri di depan nya, "Mau lo apa?" Ren berujar tanpa basa basi.

Story Red Eyes: Playing Eyes (END) Where stories live. Discover now