6- Versus

145 65 6
                                    

Hari Kamis ditambah langit cerah memang tak terlalu buruk. Sinar matahari yang terlalu terik membuat semua orang mengeluh di pagi hari akibat kepanasan ditambah jalan raya kota yang di penuhi kendaraan, macet. Beberapa kendaran terlihat membunyikan kelakson.

Sialnya, Ren den Erin harus mengalami hal yang sama dan menerima nasib buruk. Macet lebih baik menurut Ren dari pada kendaraan yang mereka pakai mogok di tengah jalan dan mencari kendaran umum di tengah jalan yang sedang macet benar-benar menyebalkan.

Lapangan, tempat itulah mereka menghabiskan waktu sampai istirahat kedua. Ren dan Erin harus menerima hukuman karena datang terlambat, untung Pak Erdi -Satpam sekolah- mau membukakan gerbang untuk mereka lebih tepatnya untuk putri donatur SMA NUSA, Merinsya Medla.

Mendapat hukuman adalah hal buruk menurut Ren ditambah Berdiri di tengah lapangan sangat menyebalkan, menjadi tontonan gratis dan bahan gosipan baru anak anak Nusa. Rasanya Ren bisa mendengar suara gosipan mereka dari jarak sejauh ini.

Suara istirahat kedua untungnya lebih dulu menggema dari pada suara luapaan amarah Ren sekarang, Ren dan Erin memilih duduk dikursi pinggir lapangan karena lelah, peluh sudah membasahi leher mereka berdua bahkan wajah mereka terlihat memerah. Untung ada pohon rindang yang menyejukan temapt mereka duduk sekarang, Ren mangambil air mineral yang berada di sampingnya meneguk sebagian dan menyodorkan setelahnya ke arah Erin.

"Lain kali gue suruh ayah buat ganti hukuman" ujar Erin tiba-tiba, tangannya mengipas wajah nya yang kepanasan.

"Bagusnya mending ganti buat makalah ketertiban deh" seru Ren yang setuju dengan penuturan Erin.

Erin mengangguk sambil tertawa, "anak-anak yang lain pasti lebih milih dijemur" Erin melirik kacamata Ren yang sedang terpasang di hidung mancungnya, "Beli kaca mata kapan?" tanya Erin heran dan baru menyadari saat melihat kaca mata baru yang Ren pakai, Ren tak pernah memakai kacamata sembarangan.

"Kemarin, bokap lo yang ngirim" Jawab Ren acuh

"Pantesan" ujar Erin mengangguk-angguk mengerti. Melihat desain kacamata Ren, Erin yakin itu di import dari jerman.

Mata Ren melihat beberapa orang yang sebagian menggunakan kaos basket dan seragam biasa berjalan menuju lapangan dengan bola basket ditangan salah seseorang dari mereka, Ren melihat sekilas kearah mereka sinis dan terlihat cukup kesal, orang yang kemarin memecahkan kacamatanya ada di antara mereka Ren berdecik saat melihat sekeliling lapangan yang di penuhi penonton.

Ren melihat ke arah Erin yang tengah menatap lapangan tanpa berkedip, Erin sama saja. Ren memejamkan mata sekejap, menyenggol lengan Erin ingin mengajak nya pergi dari sana, Erin menengok sambil tersenyum lebar.

"Lumayan tontonan gratis" seru Erin setelah itu kembali melihat kumpulan orang di tengah lapangan.

Ren menghela nafas kasar dan memilih mengeluarkan ponsel dari saku roknya. Belum beberap menit Ren mengangkat wajahnya, melihat kesegala arah dan berhenti di arah tribun penonton yang di dominasi dengan perempuan. Ren rasa mata yang sering mengikuti langkahnya ada di sana tepat dimana penonton berada.

Lapangan semakin ricuh saat Gevin maju ketengah-tengah lapangan dengan membawa bola basket sebagai ketua lawan sedangkan di sisi lain sangketua basket asli mulai bersiap memperebutkan bola yang akan segera di lempar wasit, permainan di mulai dengan bola yang di dapatkan oleh Gevin Drapa.

Setelah Gevin menshot bola basket dan masuk denga Three point, wasit meniup pluit. Sang ketua basket terlihat memanggil nama seseorang.

"Rega!, masuk lo jadi Canter" teriak ketua basket.

Rega yang terlihat memainkan botolnya itu berhenti, tersenyum miring saat melihat Ren di sisi lapangan. Biasanya Rega akan menolak mentah-mentah tapi sekarang ia terlihat melangkah maju mendekati lapangan.

Story Red Eyes: Playing Eyes (END) Where stories live. Discover now