Hello London

Mulai dari awal
                                    

"Ohh, I'm so sorry. She's my daughter. Are you okay?" Suara wanita yang tiba-tiba terdengar membuat lamunanku buyar. Aku segera mendongak, melihat seorang wanita berambut pirang dan mata kehijauan berdiri di samping anak itu.

Aku memberinya senyuman tipis lalu membawa anak itu dalam gendonganku dan mengalihkannya pada gendongan sang ibu. "I'm okay. She's look fine too."

"I'm sorry and thank you." Wanita itu sedikit membungkuk dan tersenyum sebelum membawa anaknya menjauh. Ia mengajak anaknya bercanda, tertawa bersama meski sang bayi tak mengerti apa yang ibunya bicarakan. Chemistry yang sangat kuat.

Aku terlalu mengagumi interaksi itu sampai-sampai lupa mengagumi sikap ramah yang wanita itu berikan. Tak semua orang barat bisa seperti itu tetapi aku tak terlalu memperhatikan.

Aku bahkan terus melihat interaksi kuat itu sampai-sampai lupa kalau aku harus segera ke apartemen, memeriksa kelengkapan dan memasak sesuatu untuk menyambut teman baikku yang akan datang. Ohh tidak, pikiranku kacau sekali hari ini. Hatiku juga abu-abu. Tak jelas antara bahagia dan tenang dengan sedih dan gusar.


***


Dengan susah payah aku berusaha menekan password apartemen. Tangan kananku memegangi dua kantung plastik besar, tangan kiri memegang satu kantung plastik sambil berusaha menekan password, dan satu kantung keresek lagi kugigit karena tanganku tidak muat.

Setelah beberapa jam lalu tiba di apartemen dan membersihkan juga menata ulang beberapa perabotan, aku pergi belanja untuk persediaan makanan dan perlengkapan lainnya. Belanja juga merupakan sebuah bentuk siasat untuk menghindari bersih-bersih keberlanjutan. Koperku sama sekali belum kurapikan meski sudah kuobrak-abrik untuk mencari charger ponsel yang sialnya kutaruh di antara pakaian.

Aku menghela napas lega ketika pintu apartemen terbuka. Aku langsung masuk ke dalam, menutup pintu dengan kakiku lalu menaruh belanjaan-belanjaan itu di pantry. Aku menyempatkan diri untuk merebahkan tubuh di sofa dan mengistirahatkan punggungku yang hampir remuk karena berjalan dengan banyak belanjaan.

Aku membalikkan tubuhku menjadi menyamping. Aku termenung sejenak, mendadak mengingat Changbin ketika di bandara waktu itu. Apa dia bersungguh-sungguh?

Hhh ... kurasa dia gila.

Kata-katanya tidak masuk akal. Aku tidak ingin berharap pada pria mana pun kecuali Seungmin ... karena ia satu-satunya lelaki yang tidak pernah mengingkari janjinya. Satu-satunya yang bisa kupercaya—kecuali untuk masalah yang satu ini. Tapi, bukan berarti aku mau mengharapkan ia meminangku, loh. Jangan salah paham. Kami sahabat sejati.



Ting Tong ...


Aku mengerang kesal saat bell apartemenku berbunyi. Apa dia sudah datang? Kenapa cepat sekali?

Dengan beberapa umpatan agak halus di dalam hati, aku bergerak turun dan melangkah menuju pintu. Aku segera membuka pintu sebelum bell kembali berbunyi.

Seorang pria bersurai pirang dengan senyuman tipis yang manis berdiri di depan pintu. "Wow, it's a big surprise," ujarku malas, agak sarkastik.

Tapi, pria bernama Eric itu malah tersenyum lebar. Dengan tak tahu dirinya ia malah merangkul bahuku dan masuk ke dalam. Ia bahkan menutup pintu seperti seorang tuan rumah. Ohh, sapaan yang bagus setelah sekian tahun berpisah.

"Wow, Shin (y/n). I'm very surprised, you're back to London ... finally."

"Me too," sahutku.

Cruel Destiny [Stray Kids Imagine Project]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang