94-1

44.5K 5.9K 1K
                                    

Malam itu seluruh keluarga, kerabat maupun rekan kerja Prescott hadir dalam gereja tersebut di mana akan di langsungkan pemakaman Lidya. Semua tengah meminta Prescott untuk tabah, tak sedikit memberikan doa agar Lidya tenang di alamnya. Bahkan Simon dan beberapa staff Wellington hadir di sana.

Namun Ewan belum memperlihatkan batang hidungnya. Sementara Aram dan Max duduk di kursi sambil diam-diam melihat kearah pintu luar gereja, diam-diam berharap Ewan akan muncul dan memperlihatkan senyum bodohnya atau kelakuan konyolnya seperti biasa. Tapi tidak ada satupun yang terjadi.

"Dia tidak datang..." bisik Simon kearah Eugene yang tidak di tanggapi pria itu. "Gene, apa kau sudah mengajaknya-"

"Dia membutuhkan waktu untuk menerima semua ini, Simon," ucap Eugene.

Lalu sebelum acara tersebut di sudahi, seorang Pendeta berdiri dan berkata,"Untuk terakhir kalinya apakah ada dari kalian yang ingin mengucapkan sesuatu kepada almarhum?" Ketika tidak ada satupun yang berdiri atau mengucapkan apapun, pendeta berkata, "Baiklah, jika tidak ada yang ingin mengucapkan-"

"Aku mau."

Ucapan tegas itu terlontar dari bibir Ewan Wellington yang masuk ke dalam gereja dengan gerakan seolah ingin membunuh, dengan tangan kanannya membawa sebuket bunga tulip di padukan dengan Baby Breath yang sudah mulai menghitam pinggirannya. Pria itu masuk ke ruangan dengan gerakan mengancam, walaupun sebenarnya ia tidak melakukan apapun selain berjalan lurus kearah pendeta.

Tepat di hadapan pendeta ia berbisik, "Aku ingin mengucapkan sesuatu kepada kekasihku."

Pendeta tersebut mempersilakan Ewan untuk berdiri di balik Mic. Ketika ia berhenti bergerak, Ewan seolah tidak bisa melakukan apapun. Ia tidak bisa bernafas dengan baik, kedua tangannya basah dan ia merasa harum bunga malah menusuk indera penciumannya. Semuanya tidak ada yang salah, tidak sama sekali. Lalu ia merasa Dee memegang tangannya, tersenyum di sampingnya seperti yang selalu di lakukan wanita itu.

Tanpa berpikir, Ewan menoleh kearah belakangnya di mana peti mati telah tertutup sempurna. Ia tidak memperdulikan audience yang mendengar, yang ingin ia lakukan adalah mengucapkan hal yang sejam lalu sudah di pikirkannya.

"Aku bertemu denganmu, wanita lembut keras kepala. Jatuh cinta padamu diam-diam, semua di lakukan begitu cepat. Dan setelah semua kebodohan yang kulakukan, kau hanya tersenyum dan menerimaku kembali. Mengatakan kepada seluruh dunia bahwa aku tidak bersalah, bahwa kau pantas mendapatkan semua ini."

"Tapi kau tidak pantas mendapatkannya." Ewan membiarkan air matanya mengalir sesuai dengan emosinya. "Lalu ketika aku mendengar berita ini, aku mengatakan kepadaku berulang kali bahwa aku harus melepasmu. Bukan karena aku ingin, tetapi aku harus melakukannya. Namun hatiku menyakinkan diriku, bahwa aku tidak bisa melakukannya."

"Aku tidak bisa melepaskanmu. Tapi kau harus melepaskanku. Kali ini, Agapi Mou, biarkan aku menerima rasa sakit ini, biarkan aku menunggumu dengan rambut memutih, dengan bentuk wajah yang mungkin tidak akan membuatmu terkesan lagi. Kau jangan lagi berada di sisiku, karena aku belum pantas mendapatkanmu." Ewan berjalan kearah peti tersebut, menyebarkan bunga keatasnya peti tersebut dengan tangan menyentuh lembut sisi peti. "Biarkan aku mencintaimu seperti seharusnya. If We can't be together in this life, I will find you in the next life."

"Karena aku tidak bisa menghapus suaramu, nafasmu, dan bayanganmu di benakku. Jadi aku akan melepaskanmu sekarang, tapi aku akan menemukanmu. In the another life, aku akan menemukanmu dan ketika hal itu terjadi, aku akan memberikanmu bunga kesukaanmu. Jika kau tidak bisa fight for me anymore, aku akan melakukannya. Kau, Agapi Mou, will always be my temptress for eternity."

"So, I let you go now. Till we met again."

Merasa tidak sanggup lagi berkata-kata, Ewan mengenakan kacamata hitamnya untuk menutupi kedua mata hijaunya. Lalu beranjak dari tempat itu setelah memberikan ciuman terakhir melalui jemari yang di letakkan di kepala peti. Ewan sudah memutuskan, ia akan melepaskan wanita itu. Melepaskan satu-satunya cinta pertama dan terakhirnya.

Ketika ia berjalan meninggalkan gereja tersebut, Aram mengikuti Ewan dari belakang begitu juga dengan Max. Tanpa memperdulikan seberapa mereka telah berjalan, baik Aram maupun Max tidak mengatakan apapun hingga Ewan mendadak melepas kacamatanya, memperlihatkan mata hijaunya yang berair sementara pria itu duduk di tengah jalan dan tertawa sumbang.

"Ini bodoh, aku bodoh." Ewan mengacak rambutnya dan berbisik, "Kalian pasti mengira aku bodoh."

Max adalah yang pertama kali duduk di samping Ewan, merangkul pria itu dan meremas pundak Ewan dengan lembut. "Kau, adalah sahabat kami Ewan. Kau tidak bodoh, seorang pria yang bisa melepaskan wanita yang sangat kau cintai, bukan pria bodoh."

"Aku mencintainya, Maxie."

"Aku mengerti..."

"Dan aku kehilangannya, dia tidak cukup mencintaiku." Ewan menggeleng kepalanya cepat, membiarkan suaranya menjadi serak karena air mata dan tenggorokan yang mengering. "Cinta kami tidak cukup untuk membuat kami bersama... Dan itu adalah kesalahanku."

Tanpa mengatakan apapun, Aram yang sudah duduk di kiri Ewan merangkul pria itu, mengarahkan sebuah botol Vodka kearah Ewan sembari berkata, "Kau tidak membutuhkan amanatku sama sekali, Ewan. Kau membutuhkan sebotol Vodka." Ia meletakkan botol itu di antara kaki Ewan, lalu membiarkan tangannya merangkul pundak Ewan. "Kami akan selalu berada di sampingmu, Ewan."

"Aku...sudah benar-benar kehilangan dia. Iya bukan?" bisik Ewan.

"You will find her in next life," ucap Aram.

"Dan kami akan membantumu menemukannya," ucap Max.

Ewan membuka botol vodka yang di letakkan di kedua kakinya, menegak cairan keras itu hingga kerongkongannya terasa panas sebelum akhirnya berkata, "Aku melepaskannya bukan karena aku mau..." dan Ewan bisa merasa kedua sahabatnya meremas pundaknya bersamaan. Lalu ia melanjutkan ucapannya. "...tapi aku tidak mau lebih menyakitinya. Aku mencintainya di banding Bulan mencintai matahari. Aku lebih mencintainya... dan aku menyakitinya."

"Kau tidak menyakitinya Ewan, kau mencintainya..." bisik Max pelan. Lalu Aram menimpali, "Kalau kau menyakitinya, dia tidak akan bertahan untukmu, Ewan."

Tapi Ewan sudah cukup menyakitinya. Ewan tidak bisa melihat alasan lain mengapa Tuhan mengambilnya. Have a faith, Ewan. Walaupun Eugene sudah mengatakannya, tapi Ewan tidak bisa melakukannya. Karena ia sudah menjadi bodoh karena cinta, karena perasaan ini telah menghancurkan seluruh akal sehatnya. Dan Ewan merasa untuk beberapa puluh tahun kedepan ia akan terus menerus menjadi bodoh.

Seperti Prescott yang mencintai ibunya dan menjadi gila karenanya. Dan inilah ending yang harus di terima Ewan, tidak kurang dan tidak lebih...

14 Maret 2019
Repost | 10 July 2020

Tebak donk uda ending belum? >o<
Btw terimakasih udah bersabar nunggu update an Ewan.

Now in Sydney, already midnight so Ms K wanna say today is an important moment for my beloved author. You know why? Because today it's her birthday. I don't know if I could ever convey to you how much you mean to me. Thank you for making amazing stories. Happy birthday Margaret Nathalia.
We love you 💞🎉🥳

His TemptressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang