His Temptress | 59-1

120K 12.5K 1.4K
                                    

Dalam jeda yang hampir lama, akhirnya Ewan bertanya. "Mengapa?" Ia mengulanginya sekali lagi ketika wanita itu tidak kunjung menjawab. "Kenapa kau ingin aku membencimu?"

Lidya menjilat bibirnya sekilas, menggigitnya sebelum akhirnya berkata. "Karena...dengan membenciku kau tidak akan merasakan apapun selain rasa benci. Tidak ada rasa sakit selain rasa benci yang begitu besar." Lidya mendongak dan kembali menatap pria itu. "Karena dengan begitu...kau tidak akan mengalami rasa sakit ketika pada akhirnya kau tahu ayahmu... tidak membencimu tanpa alasan, dan kau tidak akan mengalami sakit ketika kau di cap sebagai anak haram..."

"Kau tahu, Agapi Mou? Kau mengatakan kebenaran disaat yang aku tanyakan hanyalah 'Apa yang dilakukan pria itu kepadamu'." Ewan menutup matanya sekilas untuk menormalkan nafasnya. "Kau sengaja mengatakan kebenaran mengenai lima tahun yang lalu hanya untuk menutupi kebenaran mengenai apa yang kau lalui selama ini. Iya?"

"Tidak ada lagi yang bisa kukatakan..."

"Even for a single word?"

Ketika melihat wanita itu bergeming. Ewan memutuskan untuk membuka pintu dan meninggalkan kamar. Sebelum ia menutup pintu, Ewan berkata, "Hubungan kita tidak akan pernah berhasil, Agapi Mou. Itulah mengapa aku pernah berkata tidak pernah ada kita."

"Kau memutuskan segalanya sendirian, dan kau lupa, bahwa pada dasarnya hubungan ini didasari oleh dua orang. Kau dan aku. Kalau hanya ada 'kau' maka tidak akan pernah ada 'kita', Agapi Mou." Sebelum pintu tertutup Ewan kembali berkata, "Atau mungkin dari awal tidak pernah ada kita di-hatimu."

Lidya mendongakkan kepalanya tepat saat pintu tertutup. Air matanya mengalir saat bunyi pintu itu berdentum dengan kencang. Seolah-olah suara pintu yang tertutup itu adalah tanda bahwa Marshall menutup hatinya. "Bukan... bukan itu..."

"Aku tidak pernah sekalipun menganggap bahwa tidak ada kita. Aku tidak pernah..." Lidya bergerak turun, namun kakinya terasa lemas. Alih-alih mengejar Marshall. Ia malah duduk didepan pintu tertutup sambil terisak pedih. "Aku mencintaimu..." bisik Lidya pelan.

Tangannya terulur dan diletakkan pada daun pintu, ia merebahkan kepalanya disana dan kembali terisak. Perlahan-lahan ingatannya yang menyakitkan kembali lagi. "Har...Apakah kali ini aku juga akan kembali kehilangannya?"

Mata Lidya terpejam dan ia mengatakan satu hal yang ingin didengar oleh Marshall lima menit yang lalu. "Dia... menghancurkan satu-satunya hal yang membuatku sanggup berdiri bahkan ketika kau tidak bersamaku, Marshall..."

"He make me lost our son..."

Hanya membutuhkan satu kalimat itu untuk membuat Lidya merasa hancur, mengungkapkan hal ini melebihi apa yang bisa ditahannya. Lidya tahu, ia tidak bisa terus melarikan diri dari kenyataan, tapi dengan tidak mengatakan hal itu ia merasa anaknya masih hidup dan... suatu saat nanti anaknya akan kembali kepelukannya dan berkata, "Ma, ini aku..."

Lidya pernah berjanji kepada dirinya sendiri. Ketika masalah ini selesai, ia akan kembali kepada Marshall, meminta maaf bahkan berlutut kepada pria itu. Ia tidak peduli kalaupun Marshall akan melihatnya sebagai wanita murahan. Dan saat pria itu telah memaafkannya, Lidya akan memeluk pria itu dan berkata, "This is our son, Marshall."

Lidya mengepalkan tangannya, memukul daun pintu dengan isak tangis yang tidak lagi ditahannya. Ia berteriak, memukul dan sesekali berhenti hanya untuk menarik nafas. Tidak ada lagi yang bisa dipertahankannya, selama lima tahun ini Lidya telah melakukan hal yang sia-sia. Ia kehilangan kewarasan dirinya, Harletta, anaknya dan kini... ia kehilangan Marshall.

His TemptressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang