HIS TEMPTRESS | 04

143K 12.6K 1.1K
                                    

Lidya menarik nafasnya, mengulanginya berulang kali ketika berada di salah satu hotel ternama di Las Vegas. Jantungnya berdebar dengan sangat kencang, dan ditengah ketakutannya ia berharap pria bernama Maximillian ini mampu membantunya untuk bertemu dengan Mr. Wellington.

"Aku bisa melakukannya," ucap Lidya berulang kali, "Aku bisa. Bukankah kau pernah mengalami hal yang lebih parah dari ini, Dee? Ini bukanlah apa-apa..."

Namun kata-kata yang diucapkannya berbanding terbalik dengan apa yang dilakukannya. Kakinya malah melangkah keluar dari Lobby dengan frustasi. Ia tidak bisa melakukannya! Bagaimana mungkin salah satu billionare mau memberikan beberapa menit waktunya hanya untuk mendengarkan ceritanya, apalagi untuk membantunya.

"Oh God, Aku tidak bisa melakukannya. Aku benar-benar tidak bisa melakukannya!" bisik Lidya dengan panik.

Kakak anda akan meninggal dan hanya Mr. Wellington saja yang bisa membantu anda. Ketika ia mengingat kembali ucapan dokter yang menangani Harletta, Lidya memaksakan kakinya untuk melangkah masuk dan hanya dalam beberapa hitungan ia sudah berada di hadapan resepsionis. "Per-permisi, apakah saya bisa bertemu dengan Mr. Maximillian?"

"Apakah anda telah membuat janji temu sebelumnya?"

Lidya menggeleng.

"Maafkan saya miss, tanpa janji temu Mr. Russell tidak bisa diganggu. Anda bisa meninggalkan nomor telepon dan nama perusahaan anda. Saya akan menyampaikannya kepada beliau."

"Tidak! Saya harus bertemu dengan Mr. Russell sekarang juga." Lidya mengeratkan genggamannya pada meja resepsionis dan menggeleng keras, "Please, aku membutuhkan atasanmu. Sepuluh menit saja..." Lidya menggeleng lagi. "Tidak, lima menit saja sudah cukup. Kalau Mr. Russell sedang sibuk, aku tidak keberatan untuk menunggunya. Aku akan menunggu hingga malam kalau memang diperlukan, tapi please... bantu aku miss..."

"Saya akan coba membicarakannya kepada beliau. Mohon tunggu sebentar."

Resepsionis tersebut mengangkat telepon dan berbicara singkat dengan orang yang diduga Lidya adalah Mr. Russell. "Maaf mengganggu acara makan siang anda, sir. Tapi di sini ada wanita yang ingin bertemu dengan anda tapi beliau belum membuat janji. Apakah anda bersedia menemuinya?"

"Apa kau baru saja bekerja hingga harus diulangi apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan?"

"Ma-maafkan saya, sir!" Resepsionis tersebut langsung meletakkan telepon dan tubuhnya mengalami sedikit gemetar.

Lalu Lidya bisa merasakan ketegangan dan beberapa ucapan singkat dari balik telepon. Ia mendekatkan tubuhnya ke meja dan berbisik, "Bagaimana?"

"Maaf, saya tidak bisa membantu anda."

Dengan perasaan berkecamuk di benaknya, Lidya membalikkan tubuh setelah menuliskan nomor teleponnya. Ia menggigit bibirnya dan harus menahan agar tidak menangis. Demi Tuhan, ini semua sudah bisa kau prediksi, Dee. Jangan cengeng!

Sebelum Lidya berada di ujung pintu Lobby, ia menoleh kearah resepsionis lagi untuk menimbang apa yang harus dilakukannya agar ijinkan bertemu dengan Mr. Russell. Dan ia melihat seorang pria bertubuh tinggi yang terlihat begitu maskulin dengan seorang wanita cantik. Pria itu tengah merangkul wanita bahu wanita itu dengan gerakan kepemilikan yang begitu ketara.

Dulu...

Baru saja ia hendak bernostalgia, ia mendengar wanita itu berkata, "Kalau begitu aku akan kembali ke rumah dulu, Max. Aria pasti sudah menungguku."

"Hati-hati."

Ketika mendengar nama yang begitu dinantikannya, mata Lidya terbelalak dan ia langsung berlari kearah sepasang kekasih tersebut. Tangannya terulur menggenggam lengan pria bernama Max dan berkata lirih, "Mr. Russell, aku membutuhkan bantuan anda!"

Max terkejut ketika mendapati seorang wanita mungil menggenggam tangannya, ia terkejut karena tidak ada yang berani melakukan hal itu. Tidak ketika ia masih berada di hotelnya sendiri. Dengan kasar Max menghentakkan tangannya dan menyipit marah, "Who are you?"

"Namaku-"

Belum selesai ia memberitahu namanya, Lidya ditarik oleh beberapa petugas keamanan. Ia menatap Max dengan sorot permohonan, "Please, anda harus membantuku. Lima menit saja... Anda hanya butuh mendengarkanku selama lima menit!"

Max mengabaikan sorot permohonan wanita mungil berambut madu tersebut, sosok yang pasti mampu membuat Ewan tergila-gila dan mungkin dirinya juga-kalau saja ia masih belum bertemu dengan Zia.

Dengan lembut Zia merangkul lengan Max dan berkata dengan lembut, "Tidak bisakah kau memberikan waktumu? Wanita itu hanya meminta lima menit, Max."

"Tidak. Setelah aku mengantarmu keparkiran, aku harus menghadiri meeting penting. Aku tidak memiliki waktu untuk mendengarkan omong kosong wanita yang bahkan tidak kukenal sama sekali, Zia." Max merangkul bahu Zia dan mulai berjalan, "Ayo, kuantar kau ke parkiran."

Zia mengangguk namun matanya terarah ke wanita mungil yang diseret keluar karena membuat keributan di hotel.

Di luar Lobby, ketika Zia hendak berjalan ke parkiran, ia mendengar wanita itu berteriak dengan suara keras, "Anda harus membantuku bertemu dengan Mr. Wellington! Hanya anda yang bisa membantuku!"

Bukan pernyataan itu yang membuat Max menghentikan langkahnya, tetapi karena nama Ewan di bawa dalam pernyataan itu. Max menyipitkan mata seolah berusaha memfokuskan dirinya, ia tidak yakin wanita itu benar-benar mengatakan nama Ewan barusan. Ia berbisik pelan, "Apa aku salah mendengar?"

Istrinya lah yang tersenyum kecil, "Kau harus mendengarkan apa yang hendak disampaikannya, Max. Mungkin saja Ewan sudah melakukan hal yang gila."

"Ewan tidak akan-"

"Dengan keliarannya sampai dikenal sebagai si bajingan tampan? Ayolah Max, mungkin saja dia benar-benar melakukannya," ucap Zia. Sebenarnya ia tidak benar-benar mengatakan hal itu. Zia yakin kalau Ewan bukanlah pria seperti itu walaupun kelakukannya seringkali diluar kendali seperti menggoda hampir semua staff hotel Max, tapi Ewan tidak akan melakukan gila.

Tapi Zia merasa wanita itu seperti dirinya yang berjuang menemui Max untuk satu hal namun diabaikan. Demi Tuhan, ia tahu bagaimana rasanya diabaikan oleh suaminya yang sekeras granit itu.

Mendengar penuturan istrinya, Max melambaikan tangan kearah petugas untuk melepaskan wanita itu.

Ketika wanita itu berjalan kehadapannya, ia bisa melihat tatapan mata yang tegas namun begitu lembut. "Aku harus bertemu dengan Mr. Wellington, katanya hanya anda yang bisa menghubungi dia karena Mr. Wellington sangat jarang berada di tempat."

"Dari mana kau mendengarnya?"

"Tabloid? Dokter? Orang-orang yang bergosip mengenai kalian."

Shit! Tabloid jaman sekarang memang selalu seenaknya mengungkapkan hal yang tidak berupa fakta, hanya menyajikan sedikit kenyataan yang dibumbui dengan imajinasi. Max mengangkat tangannya dan melihat jam tangannya, "Aku memiliki waktu sepuluh menit sebelum meeting. Kau bisa menjelaskannya langsung apa yang mau kau beritahu padaku."

Max menghela nafas panjang sebelum berkata, "Langsung saja katakan kepadaku berapa kerugian yang sudah dilakukan oleh Ewan dan aku akan memberikan mencairkan dana ke rekeningmu. Dan biar kuberitahu kalau dia tidak mungkin mau bertanggung jawab."

"Bertanggung jawab apa?"

"Kau hamil karena perbuatan Ewan bukan?"

Asumsi yang diberikan oleh Max langsung membuat Lidya tersentak. Sebenarnya siapa yang sedang mereka bicarakan? Apakah Ewan Wellington adalah pria sebrengsek itu sampai temannya sendiri berasumsi seperti itu? Dan apakah ini orang yang sama dengan orang yang mampu menolong Harletta?!

Lidya mengernyit bingung dan menggeleng. "Apa anda sudah gila?! Saya tidak membutuhkan cek anda, yang saya butuhkan adalah Mr. Wellington dan saya tidak sedang hamil!"

Sebelum Max menyelesaikan ucapannya, Zia berdiri diantara mereka dan menepuk bahu wanita itu lembut. "Lebih baik kita masuk ke dalam dulu dan bicarakan baik-baik. Okay?" lalu menatap Max dan mengangkat alisnya tinggi-tinggi. "Max?"

"Sepuluh menit dan aku harus pergi," ucap Max tegas.

TBC | 31 may 2017
Repost | 1 Maret 2020

His TemptressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang