"Kau bisa mengerjakannya untukku, Gene."

"Kau tidak bisa terus menerus di Amerika. She's already gone, Ewan. Dan kau tidak akan mendapatkannya kembali hanya dengan menetap di sini."

Eugene mengatakan dengan mudah, seolah-olah hal itu memang tidak sesulit itu. Tapi Eugene tahu, dia harus mengatakannya, karena harus ada seseorang yang membuat Ewan sadar. Dan Eugene merasa orang itu adalah dirinya.

"Malam ini adalah terakhir kalinya kau bisa melihat dia, karena Prescott sudah memutuskan untuk mengubur puterinya. Walaupun tanpa sisa tulang belulang di dalam peti mati." Ketika Ewan tidak juga beranjak dari tempatnya berdiri, Eugene menghela nafas panjang. "Ini kopimu Ewan."

Dan Eugene meninggalkan Ewan yang masih berdiri di depan jendela, memandang keluar jendela tanpa tahu apa yang tengah di pandanginya. Ia tidak boleh terus seperti ini, Ewan adalah orang yang jelas-jelas mengetahui hal itu. Ia tahu...tapi ia tidak bisa melakukan apapun. Lalu mendadak ia menghirup aroma kopi hangat yang memenuhi ruangan tersebut, dan air matanya mengalir tanpa bisa di hentikan.

Kemudian ia mulai mendengar suara Dee, di dalam kepalanya, di sampingnya, di seluruh ruangan dan di dalam hatinya. 'Marshall, ini kopi sempurna-mu' Tatapan Ewan terpaku pada segelas kopi yang di letakkan di nakas di mana terletak di sampingnya. Ia memegang cangkir itu sambil bergetar. Dan air mata Ewan kembali mengalir. Ia berlutut, menggenggam kopi tersebut dan meringis sekaligus menangis.

Berapa kalipun ia memohon, Dee tidak menjawabnya. Berapa kalipun ia berlutut, wanita itu tidak kembali. Ewan sadar ia telah kehilangan wanita itu untuk selamanya dan itu menyakitinya. Ada sesuatu dalam dirinya yang hancur namun ia tidak bisa memberitahu siapaun. Ia tidak bisa menjelaskan...karena rasa sakit ini begitu nyata, begitu terasa namun sulit di jelaskan.

Aku harus melepaskanmu, Agapi Mou? Apakah dengan begitu kau akan berhenti memperdengarkan suaramu?" bisik Ewan serak.

*

"Dia akan rusak," bisik Aram menutupi wajahnya dengan sebelah tangannya. "Apa masih belum ada informasi apapun?"

Max tidak menjawab. Pria itu masih sibuk menguatik atik ponselnya dengan wajah tegang, lalu menatap kearah Aram dengan wajah yang tak bisa di tebak. "Eugene telah meminta tolong kepada Robert, aku sudah menyuruh anak buahku untuk mencari di seluruh rumah sakit Amerika."

"Aku juga sudah meminta bantuan kepada Pettroff. Nampaknya kali ini Lizzy akan membantu kita."

"Bagaimana bisa Lizzy—"

"Dia sudah menganggap Ewan sebagai anaknya sendiri. Kau lupa, kalau Ewan selama ini sibuk menyenangkan hati Lizzy ketika kita bahkan tidak bisa menyentuh Lizzie?" Aram tersenyum sedih. "Aku tidak pernah berpikir kalau aku akan merindukan senyum bodoh Ewan. Lucu bukan?"

"Kita sama-sama bodoh, Aram."

"Kita harus menemukan Dee sebelum dia benar-benar hancur, Max."

Tentu saja mereka tahu kalau mereka harus melakukan sesuatu, namun mencari satu orang di Amerika bukanlah tugas yang mudah. Ini seperti mencari jarum di tumpukkan jerami. Sulit, tapi bukannya tidak mungkin. Mereka hanya membutuhkan waktu lebih lama, namun permasalahannya adalah apakah mereka masih memiliki waktu sebelum Ewan menghancurkan dirinya?

Aram menepuk pundak Max berulang kali sebelum akhirnya berkata, "Kita tidak akan membiarkan dia terluka untuk kedua kalinya, Max. Mungkin dulu dia bisa menjalaninya sendiri, tapi sekarang—"

"Kita akan membawa Dee pulang. Kita akan bernegosiasi dengan Raja neraka kalau memang di perlukan, Aram. Calm down, kita tidak boleh membiarkan emosi mengalihkan pemikiran kita. Dan kita akan—" Sebelum Max sempat menyelesaikan ucapannya, ponselnya berbunyi dan ia dengan cepat mengangkatnya. "Russell, Here."

*

Ewan melihat wajahnya di depan cermin, berusaha memasang dasi agar terlihat sempurna seperti biasa. Namun sudah berulang kali ia mencoba memasang dasi, tetap saja ia tidak bisa melakukannya dengan baik. Alih-alih merasa sempurna, ia malah merasa sangat bodoh. Bodoh karena berusaha sempurna ketika harus mendatangi pemakaman kekasihnya sendiri.

Kau bodoh, Ewan...

Setelah merasa tidak bisa lagi melakukannya, Ewan melepas dasi tersebut dan melemparkannya kesembarang arah. Ia berjalan keluar dan turun menuju ruang tengah, lalu langkahnya terhenti ketika melihat dapur.

Dan ucapan demi ucapan terlintas begitu saja.

"Marshall...Forgive me..."

Mata Ewan berkaca ketika kalimat itu terdengar begitu saja di telinganya. Demi Tuhan, ini sangat menyakitkan. Lebih menyakitkan di banding ketika ayahnya sama sekali tidak mau menatapnya. Ini lebih menyakitkan di banding ia mengetahui bahwa Dee meninggalkannya tepat di altar.

Ini lebih menyakitkan, karena sekarang ia tidak bisa lagi melihat wanita itu. Untuk selamanya...

Di sela-sela pemikirannya, Ewan melihat rangkaian bunga yang berada di vas tertata dengan sempurna di tengah-tengah Kitchen Island-nya. Ia berjalan mendekati bunga tersebut dan melihat sebuah kartu terselip di sana.

"There is a word that is not easy to say, there is a feeling that is not easy to show. However, the memories will always be like a flower baby breath. White, Plain, and sacred. Like the way I feel you.

-With love, Your soon to be wife, Dee."

Kali ini Ewan mengecup kartu ucapan itu, kartu yang dibuat atas nama Dee tepat sebelum mereka menikah. Wanita itu tidak pernah pergi sedikitpun, Dee-nya tidak pernah meninggalkannya bahkan jika memang hari ini seluruh dunia runtuh, Ewan tahu... wanita itu akan tetap mencintainya, seperti ia melakukannya selama ini. Like the way I feel you...

Tidak perlu lagi banyak berkata, Ewan mengambil rangkaian bunga yang terlihat mulai menghitam di pinggirnya namun masih terlihat segar lalu berjalan ke mobilnya yang terparkir sempurna di pintu luar. Ewan harus melakukannya, mengucapkan selamat tinggal namun ia tidak akan pernah bisa berhenti mencintai...

TBC | 11 Maret 2019
Repost | 28 Juni 2020

Ps. Long time no repost. Maaf kemaren miss K lupa hari 🥺. Happy reading guys

His TemptressWhere stories live. Discover now