(10) Beda Tipis

6K 556 11
                                    

Prediksi satu jam mulur berkali lipat dari semula. Benar, kan, firasatku waktu itu? makanya aku kekeh nolak permintaan Annisa. Semua kalimat penolakan halus yang kususun semalam, tidak berguna. Wuss! Menguap begitu saja. Pengalaman bertahun-tahun dalam menghadapai auditan, seolah nggak berguna untuk menghadapi Erland. Lelaki itu seolah-olah bisa membaca hatiku, seperti membaca buku.

Tunggu! Tadi bilang apa? Hati? Kok bawa-bawa hati?

Kalau pikiran lagi kusut, baca novel jadi nggak konsen. Apalagi, kalau yang dibacanya karya Sidney Sheldon atau V.Lestari. Dalam kondisi normal saja, sering terkecoh, sampai membodoh-bodohi diri sendiri. Sebenarnya, membaca novel misteri dan petualangan itu, sedikit banyak membantu stimulasi otak. Biasanya penulis menyebar petunjuk di banyak tempat. Sayangnya, mereka melakukan itu dengan wajar, jadi sering diabaikan pembaca.

Pikiranku masih terjebak di Showroom milik Erland. Entah bagaimana caranya, seolah-olah dia bisa memanipulasi diriku. Dia nggak mendesak untuk meminta persetujuan, tapi caranya bertanya dan bercerita, membuatku ikut terlibat dalam urusannya.

Awalnya, Erland hanya bertanya tentang pekerjaanku. Dia pun menanyakan alasan mengapa aku tidak bekerja sepenuhnya di perusahaan keluarga. Aku nggak punya kewajiban untuk menjawab semua pertanyaan itu, kecuali sekedarnya saja. Manners. Setelah itu, dia masih belum langsung bicara ke intinya. Pria itu malah mengajakku dan Annisa ke luar untuk makan siang. Nggak jauh dari kantornya, ada resto masakan padang yang enak. Ke sana lah, Erland mengajak kami. Disela-sela waktu makan, Erland menceritakan sedikit-sedikit persoalan yang ada di perusahaannya.

Orang naif sama orang bodoh, ternyata bedanya tipis. Bukan tanpa alasan aku bisa mengeluarkan statement seperti itu. Contohnya banyak, salah satunya ya si Erland ini. Di perusahaannya itu jelas-jelas ada yang nggak beres, tapi dia seolah-olah tutup mata. Parahnya lagi, dia bukannya nggak tahu, tetapi ... apa ya istilahnya? Ya tutup mata itu, seolah-olah nggak ada apa-apa. Sebenarnya itu bukan urusanku, sebelum Annisa merengek-rengek, minta bantuan. Seperti kena sihir, aku yang semula cuek dan nggak mau menanggapi, menyelaraskan semua indraku untuk mendengarkan setiap kata yang terucap dari mulutnya.

Dari ceritanya Erland, sebelum aku, ada juga auditor lain yang sudah memeriksa kondisi keuangan bisnisnya, dan hasilnya itu mencengangkan. Selama ini, Erland nggak pernah tahu berapa keuntungan atau kerugian perusahaannya, berapa biaya operasional usahanya dalam sebulan, bahkan dia pun nggak tahu jumlah piutang yang belum tertagih. Sayangnya, auditor itu hanya bertahan sebentar. Tanpa alasan, si auditor itu nggak pernah datang lagi untuk menyelesaikan pekerjaannya. Erland nggak berusaha menghubunginya. Katanya, “Nggak perlu dihubungi, yang penting jasanya sudah saya bayar lunas.”

Aku yang baru mendengar saja, merasa geregetan. Wajar sih, Annisa ngotot minta aku buat bantu. Agak sedikit pesimis juga, kalau Erland nantinya mau jalanin saranku. Selama ini, sarannya Annisa saja nggak pernah didengar. Ada auditor, dia juga menghilang. Apa nanti nasibku sama seperti mereka?

Ada temuan yang menarik. Sangat menarik. Hal itu yang membuatku akhirnya memutuskan untuk terlibat dalam masalah ini sepenuhnya. Bukan soal bayaran. Sejak awal, niatku untuk bantu. Aku nggak mau menerima sepeser pun dari Erland. Semula dia ngotot, tentang bayaran itu, akhirnya dia setuju untuk nggak membahasnya lagi.

Ingat orang yang menyapaku saat tiba di showroom? Dia Riko, masih ada hubungan keluarga dengan Erland. Entah siapanya, aku lupa, nggak penting, tapi yang perlu dicatat adalah dia itu kerabatnya owner. Posisinya di perusahaan sebagai staf penjualan dan penagihan. Kesalahan pertama yang dibuat Erland, dan itu sangat fatal.

================================

Telat lagi buat update. Maap yaaaaa. Semoga berikutnya on time.

Emang kenapa sih, Han? Zaman sekarang, lumrah aja kali, satu perusahaan diurus sekeluarga. Pan keluarga ente juga sama?

Hana : bukan soal kerja bareng, Thooor. Coba baca lagi yang bener. Nanti aku audit juga nih jalan ceritanya. Awas aja, kalau bikin aku menderita.

Author : baru kali ini author diancem sama karakternya sendiri.

Baiklaaah, makin sore makin halu. Pokoke, happy reading n enjoy!

Salam,
-San Hanna-

LOVAUDITWhere stories live. Discover now