(5) Skeptis

7.8K 691 6
                                    

Annisa melempar buku ke kasur, setelah menerobos kamarku tanpa permisi.

“Apaan nih?” tanyaku sedikit kesal.

“Lo belum baca itu kan? Gue baru beli tuh. Ikhlas deh diperawanin duluan sama lo,” jawabnya, lalu merebahkan diri di sebelahku. “Han, hape lo bunyi tuh. Nggak diangkat?”

“Udah biarin aja. Palingan dia lagi. Bête banget gue dari dari neleponin mulu. WA mulu, penting juga, nggak. Biarin aja,” sahutku ketus.

“Dia? Dia siapa?” Annisa makin penasaran.

“Udah sih, jangan dibahas. Tumben lo ke sini nggak ngasih tahu dulu. Bawa-bawa buku lagi, nyogok ya?”

“Tuh, kan! Apa gue bilang. Curigaan mulu sama orang. Nggak baik tahu,” ucap Annisa sambil membetulkan kaca matanya. “Kita kan sahabatan udah bertahun-tahun, masa lo mikirnya gitu sih, Han.”

Annisa mengangkat tubuhnya, duduk di pinggir tempat tidur, membelakangiku sambil bersedekap. Aku tertawa lalu melempar bantal ke kepalanya.

“Gaya lo, basi! Gue udah hatam dari tahun jebot.”

Annisa berbalik dan melempar kembali bantal tadi. Sejurus kemudian, terjadilah perang bantal di kamarku. Seprai dan selimut tak lagi licin, bantal-guling bergantian melayang di udara. Rambutku dan Annisa pun tak lagi tertata. Suara tawa kami meledak memenuhi kamar.

Aku dan Annisa berusaha mengatur napas, saat Farish berdiri di ambang pintu.

“Han, Kakak minta file hasil pemeriksaan cabang Bandung, dong. Email sekarang ya! Buat bahan meeting besok sama Papa.” Farish geleng-geleng melihat kondisi kamarku, “ya ampun! Kamar anak gadis begini banget. Gimana kalau jadi istri orang?” ucapnya sambil berdecak.

Annisa yang menyadari kehadiran Farish, langsung menyembunyikan tubuhnya dengan selimut. Dia tidak mau Farish melihanya dalam kondisi berantakan. Aku membantah ucapan kakakku satu-satunya itu, dengan mengingatkan waktu dua minggu yang diberikan papa, untuk membawa calonnya. Farish mengelak, dia malah menanyakan siapa yang bersembunyi di balik selimut. Ah, trik lama. Padahal dia tahu, itu Annisa.

“Udahlah. Sesama jomblo jangan saling menjatuhkan. Harusnya kita itu saling tolong, saling membantu. Jangan lupa file-nya. Penting!”

Farish pergi secepat dia datang. Persis jelangkung. Datang nggak dijemput, pulang nggak diantar.

Aku menyibak selimut yang menutupi tubuh Annisa. Wajahnya merah, mirip kepiting rebus. Itu bukan karena dia kelamaan sembunyi, tapi karena ada Farish. Dia selalu seperti itu, setiap kali melihat Farish. Makanya Farish bilang Annisa temanku yang lucu. Farishnya saja yang dong-dong, masa dia nggak ngeh dengan sikapnya Annisa?

Aku menggeram kesal, saat teleponku lagi-lagi berdering. Dengan kesal aku menjawab panggilan itu, tanpa melihat nama siapa yang terpampang.

“Heh! Nggak bisa nunggu besok apa? Basi banget cara lo. Pura-pura nanya soal kerjaan, padahal basa-basi doang, kan?” seruku kesal. Tapi setelah mendengar suara di seberang sana, aku jadi kikuk. Berikutnya, hanya kata maaf, iya, iya, dan iya, yang terlontar dari mulutku, sebelum menutup sambungan. Itu telepon dari papa.

Annisa terkekeh melihat perubahan air mukaku. Aku sampai memukulnya lagi dengan bantal untuk menghentikan tawanya. Dia semakin penasaran dengan orang membuatku kesal begitu. Akhirnya aku ceritakan tentang karyawan baru di kantor.

“Lo aja yang skeptis duluan. Lagian nggak ada yang aneh kok sama cowok itu. Eh, siapa deh namanya? Ah iya, Juna. Makanya, jangan kebanyakan baca novel yang tokohnya playboy mulu. Kalau nggak, ya bacanya misteri atau thriller, mentok-mentok fantasi. Sekali-kali gitu baca romance. Biar hidup lo lebih berwarna.”

“Lo sendiri, ngapain sebenernya ke sini? nggak mungkin kan cuma nganterin buku itu doang?”

Annisa hanya menggaruk-garuk kepalanya. Dia melanjutkan percakapan tadi siang di telepon. Dia masih berusaha membujukku agar mau membantunya, meyakinkan pemilik perusahaan, tentang standar operasional yang benar.

Benarkan dugaanku. Pasti ada sesuatu.

Bukannya nggak mau bantu teman. Tapi nggak semudah itu ikut campur urusan perusahaan orang lain, apalagi aku nggak kenal sama sekali sama pemiliknya. Beda ceritanya, kalau yang meminta itu si owner-nya sendiri. Belum tentu juga sih aku mau. Intinya, banyak yang harus dipertimbangkanlah.

================================

Hana kepedean bener dah. Belom tentu Juna mau modusin dia. Kena batunya tau rasa lo, Han.

Ekh, kok aku yg nyolot. Hahahaha

Author gaje.

Happy reading n enjoy, yaaaah. Jumpa lagi di next part.
-San Hanna-

LOVAUDITWhere stories live. Discover now