(12) Indikasi

5.6K 572 8
                                    

Sebal juga sama Annisa. Pas di depan Erland dan Riko, bela aku. Nggak mungkin Hana sembarangan memeriksa laporan perusahaan orang, terus dia ngomong-ngomong ke orang lain. Dia itu professional. Tapi pas aku bilang hati-hati sama Riko, dia tanya berkali-kali. Alasannya apa? Dari mana aku bisa tahu hal itu. Sebelum dia pulang, kami sempat debat soal itu.

“Emang si Riko kenapa, Han? Perasaan nggak ada aneh sama sikapnya?”

“Lo lupa apa yang dia bilang di kantornya Erland, kemarin?” Annisa memutar matanya, “waktu dia ngotot nggak setuju ada orang luar yang ikut campur urusan manajemen perusahaan. Inget nggak?” tanyaku gemas.

“Ooo, iya. Iya. Ingat. Tapi bukannya wajar ya? Dia kan masih family sama Erland, jadi rada-rada khawatir gitu kali, maksudnya.”

Aku menggeleng. “Kalau dia belum tahu tujuannya gue di sana, wajar. Tapi Erland sudah info ke dia. Gue siapa dan mau ngapain di situ. Erland bilang, gue bakal bantuin dia beresin laporannya, kan?” Annisa menggangguk, “aneh dong, kalau si Riko ngotot banget begitu, bilang gue nggak berhak ikut campur. Toh yang minta gue datang Bos-nya, bukan gue yang ujug-ujug nawarin diri, kan!” Annisa menggangguk lagi. “Buat gue, itu indikasi. Orang yang nggak menyembunyikan sesuatu, nggak akan pernah merasa terganggu dengan pemeriksaan, apalagi oleh orang asing. Kalau reaksinya sampai begitu, berarti ada sesuatu.”

Untuk kesekian kalinya, Annisa masih menggangguk, dan aku semakin jengkel. “Kayak anjing-anjingan di dasbor mobil, lo, manggut-manggut doang!” seruku sambil menoyor kepalanya. “Ngerti, nggak?”

Kadang-kadang cewek ini level reseknya bisa meroket. Apalagi kalau otaknya konslet begini. Omonganku dari tadi, ternyata nggak ada yang nyangkut di kepalanya. Nih mulut sudah berbusa, tapi dia cuma ketawa kayak kuda.

“Lo tulis semua yang gue bilang. Nanti gue infoin ke Erland juga lewat email. Eh, jangan lupa tuh, konfirmasi ke kreditur tentang saldo piutang mereka. Masa ada piutang belum tertagih, yang umurnya setengah tahun? Sedangkan di Purchase Order (PO), syaratnya 30 hari. Bos lo gimana sih? Masa dia nggak tahu hal-hal kayak gini? Geregetan deh gue!”

“Geregetan sama Erland? Lo naksir dia?” tanya Annisa dengan muka polos tapi minta ditampol.

Aku sengaja mengacuhkan Annisa yang terus meracau. Setelah kuperiksa sekali lagi dan yakin tidak ada yang terlupa, aku mengirimkan SOP itu ke Erland. Belum ada lima menit, notifikasi di ponselku menyala. Erland mengirim pesan via WA.

Erland
Thanks, ya! Nggak nyangka cepet banget.

Hana
Anytime. Aku juga sudah jelasin ke Annisa, biar dia bisa tandom sama admin nantinya. Oiya, kalau masih ada perlu ditanyain, bisa lewat Annisa.

Erland
Kalau langsung ke kamu, kenapa?

Hana
Ya, nggak kenapa-kenapa, sih. Takut nggak fast respon aja. Lagi banyak kerjaan kantor. Minggu depan juga harus dinas ke luar kota.

Erland
Kemana? Sama siapa? Mau diantar?

Hana
Deket. Ke Bandung doang. Aku sama tim ke sananya. Nggak usah ngerepotin, Land. Aku kan dapet akomodasi.

Hana
Mas, maksudnya.

Erland
Panggil Erland aja. Biar lebih akrab. Oke!

Hana
Eh, Aku masih ada kerjaan lain. Jangan lupa dibaca emailnya.

Erland
Ok. Thanks a lot, see you soon.

Baru juga meletakkan ponsel di meja, Annisa sudah menatapku penuh arti. Dia menggerak alisnya naik-turun berulang-ulang, juga memamerkan barisan giginya yang rapi. “Erland, ya?” tanyanya sambil kedip-kedip.

“Cacingan? Minum obat gih!” elakku.

Chat sama Erland, kan? Ngaku! Apa perlu gue tanyain langsung ke si Bos?” ancam Annisa, “nggak jadi deh. Nggak perlu. Lihat dari muka lo aja udah jelas banget. Tuh, di jidat lo ada tulisannya, E-R-L-A-N-D,” imbuhnya.

Reflek aku mengusap kening dan membuat Annisa kembali terpingkal. Kali ini lebih kencang dari sebelumnya, sampai dia jatuh dari kursi. Giliranku yang tertawa, saat dia bangun sambil menggosok-gosok bokongnya.

“Napa, Han?” tanya Farish dengan muka khawatir di depan kamar.

Pintu kamarku memang selalu terbuka, dengan atau tanpa aku di dalamnya. Aku malas harus bangkit untuk membuka pintu jika ada yang mau masuk. Kecuali, aku sedang tidur atau tidak ingin diganggu, pintu itu pasti tertutup dan terkunci. Kebiasaan itu sudah dimaklumi seluruh keluarga, meski Mama keberatan. Mama maunya ditutup saja tanpa perlu dikunci, tapi aku bersikeras.

Farish masuk ke dalam untuk memastikan keadaan.

“Nih si Annisa, jatuh dari kursi. Kualat dia, ngeledekin aku terus.”

Farish melihat ke Annisa yang menyeringai menahan sakit, tapi dia sudah nggak mengusap-usap bokongnya.

“Kamu nggak pa-pa? mana yang sakit? Sini aku usapin!” tawar Farish serius.

Sontak saja, tawaku semakin jadi. Wajah Annisa pun merah padam mendengar penawarannya.

Annisa menggeleng, “Nggak pa-pa kok, Kak.”

“Heh, temennya jatuh malah diketawain. Gimana sih?” protes Farish padaku.

“Emang Kakak tahu yang sakit di mana? Pantatnya Annisa tuh. Kakak beneran mau usapin?”

Farish diam dan melirik Annisa, lalu dia keluar begitu saja dari kamar setelah menjitak kepalaku.

================================

Padahal mau dipas-pasin jumlah katanya. Hahaha maklum author eror. Tau-taunya nyampe 750an. Mau menggal ya binggung. Lumayan tuh bisa setengah part buat besok.

Tuh kaaan author pelit banget yaaak.

Hana udah kebanyak ketawa. Next part, kita buat dia menderita.

Hana : Heh, Thor! Kejem amat, niatnya? Orang mah, bikin yang swit-swit gitu. Bikin gue jadian kek sama Erland.

Author : sekarepmu!

LOVAUDITWhere stories live. Discover now