(25) Temuan dan Barang Bukti

4.4K 404 1
                                    

Juna membelokkan mobil ke gang yang berada di tepi jalan. Aku menghela napas berat. “Tambah kerjaan lagi nih,” gumamku saat Juna akan memasuki di tempat yang memiliki papan nama Widjaya Rental di depannya. Aku meminta Juna berhenti, lalu aku pindah ke kursi belakang mobil, duduk bersebelahan dengan Messi.

“Mes, lo ke sana sama Juna, gue tunggu di sini. Terus, nanti sewanya pakai identitas lo, dan jangan pernah sebut-sebut nama gue. Oke? Ngerti, kan?”

“Ada apaan, sih? Ribet banget. Kan sudah sepakat bayar full,” protes Messi.

“Nanti gue ceritain. Gue minta tolong kali ini aja, please! Oiya, Nanti, lo tanya sama orang yang ngelayanin, namanya siapa. Pas lo serahin KTP dan kartu NPWP buat jaminan, lo akan dikasih tanda terima, minta orangnya cantumin nama jelas, kalau dia nggak nulisin. Ngerti, kan?”

“Lo bikin level kepo gue tambah tinggi dari sebelumnya, nih. Janji, ya! bakal ceritain. Eh, kok pakai NPWP segala? Emangnya bon sewanya bisa jadi kredit pajak?”

“Gigimu trapesium! Sejak kapan bon bisa jadi kredit pajak? Itu salah satu syarat penyewaan, Dong-dong! Emangnya lo bawa Kartu Keluarga? Nggak, kan! Pokoknya inget yang gue bilang tadi. Jangan sampai nggak. Namanya itu yang paling penting,” tegasku ke Messi. “Eh, Jun! gue turun di sini. Thanks, tumpangannya. Salam, ya, buat Ibu.” Aku menepuk bahu Juna sebelum turun dari mobil.

Aku bersembunyi di balik batu setinggi dada. Dari jarak ini, aku  pasti tidak akan bisa mendengar apa pun. Tapi, aku bisa leluasa mengambil gambar. Aku sudah mirip detektif yang lagi mengintai target, belum?

Aku mengambil foto seluruh lokasi rental. Di halaman parkir depan, bisa menampung dua puluh mobil. Hari ini tampak sepi, sepertinya semua armada keluar hari ini. Kalau begitu, kemungkinan besar Messi nggak akan bisa menyewa mobil dari sini. Aku kembali memfokuskan pandangan ke Messi dan Juna. Kini mereka sedang berbincang dengan seseorang. Aku tidak mengenali siapa yang melayani mereka. Dua bulan yang lalu, saat aku memeriksa, orang itu nggak ada. Mungkin karyawan baru.

“Kok Juna nggak balik-balik, ya? Katanya mau balikin mobil yang disewanya, tapi kok masih sama Messi?” aku bergumam tanpa mengendurkan perhatian. “Lho, kok, Juna nyerahin kunci ke karyawan rental? Itu, kan, bukan aset Papa? Hmm, ada yang nggak beres nih.” Aku terus mengambil gambar dengan kamera ponselku. Kalau di zoom mungkin gambarnya akan pecah, tapi postur orang itu sudah terlihat jelas.

“Kok mereka lama banget, ya? Mana tengah hari robek begini. Di Bandung, matahari ada Sembilan kali, ya?” gerutuku sambil menyeka peluh dari kening. “Coba ada yang bawain es teh manis, atau air sirup pakai es, atau air putih dingin juga okelah. Syukur-syukur ada yang kasih cokelat pakai es. Hmmm, pasti enak banget ini.” Aku menelan ludah, “Jika ada orang yang benar-benar bawain ice choco, kalau cewek bakalan gue anggap saudara. Tapi, kalau cowo, bakal gue jadiin pacar deh hari ini juga. Otak gue rasanya ikut meleleh, makanya ngelantur begini.” Aku mengibas-ngibaskan tangan, berharap ada sedikit perubahan udara.

Aku kembali mengamati suasana rental. Juna sudah tidak tampak dan Messi terlihat sedang menandatangani sesuatu di atas meja. “Kalau Messi tanda tangan, berarti dia dapat mobilnya? Tapi, di sini nggak ada mobil nganggur sama sekali, kecuali mobil yang di pakai Juna tadi. Wah! Benar-benar ada sesuatu di sini. Pekerjaan rumahku tambah banyak, nih,” kemamku.

“Teh!”

Aku melonjak kaget, saat mendengar suara anak kecil yang memanggil dari belakangku. Terlebih dia juga menarik tali tasku. Dadaku berdebar kencang. “Apa?” tanyaku ketus sambil menepuk dada, “bikin kaget aja, kamu.”

Anak laki-laki yang ada di hadapanku tertunduk. Mungkin dia merasa bersalah atau takut. Kalau dilihat dari penampilannya, mungkin usianya baru sepuluh tahunan, atau kurang dari itu. Dia masih diam, aku jadi nggak enak. Aku membungkuk dan mendekatkan wajahku yang kini terpasang senyum, “Maaf, ya. Tadi saya kaget. Habisnya kamu tiba-tiba manggil dan narik tas. Ada apa?” tanyaku seramah mungkin.

Anak itu mengangkat kepalanya perlahan. Matanya menyelidik wajahku, sebelum akhirnya dia menyodorkan kantong plastik bening, yang berisi gelas besar dengan isi berwarna cokelat pekat dan mengeluarkan udara dingin. Air liur memenuhi rongga mulutku, hingga aku menelan ludah berkali-kali.

================================

Woi, udah update woi! Maraton nih!

Jangan lupa vote dan komen, yaa.
Biar akyu tambah rajin lagi. Hahahaha. Kalau mau nimpuk, pakai ice choco, ya? Kayak yang dikirim ke Hana.

Tapi nggak aku jadiin pacar. Sudah ada yang punyaa.

(disambit batako)

-San Hanna-

LOVAUDITWhere stories live. Discover now