(20) The Real Messi

4.5K 447 0
                                    

Puluhan panggilan tak terjawab dan pesan dari Annisa. Sampai detik ini, dia masih berusaha menghubungiku, setelah aku mengirimkan pesan singkat padanya. “PEMBOHONG!”
Dia bingung dan langsung menelepon, tapi kuabaikan. Dia telepon lagi dan lagi. Puluhan pesan dikirimkan tapi tak satu pun yang kubalas. Wajar, kan, kalau aku begitu? Sakit! Hatiku sakit! Dibohongi oleh sahabat sendiri.

Aku masih menyembunyikan wajahku di bawah bantal, saat Messi bertanya, “Lo kenapa, Han? Nggak dapat mi ayamnya? Go-food aja, ya.”

Aku menggerung dari balik bantal. Lalu, aku merasakan tanganku diusap dengan pelan dan lembut.

“Gue tadi lihat dari jendela, lo pergi sama Juna. Lo nggak diapa-apain, kan, sama dia? Kalau dia sampai berbuat jahat sama lo, bakal gue pecahin telornya, biar nggak punya masa depan sekalian.” Messi mengucapkannya dengan hati-hati, suara sedikit bergetar di bagian akhir. Dia mengambil bantal yang menutupi wajahku.

Aku menyeka sisa air mata dan ingus merembes dengan lengan kaos yang kupakai.

“Jorok banget, sih, jadi cewek. Pantesan masih jomblo. Resik sedikit gitu,” protes Messi lalu menjauh. Dia mengaduk isi tasnya, mengambil tisu, dan memberikannya padaku.

Aku menyingsing sisa lendir yang ada di hidung. Mengulung tisu bekas pakai, lalu melemparkannya ke tempat sampai yang ada ujung tempat tidurku. Messi menggeleng melihat tingkahku. Ponselku kembali berdering. Kali ini, Messi langsung menyambar dan menerima panggilannya.

“Heh! Lo apain Hana sampai dia nangis begitu? Jangan macem-macem ya jadi cowok! Gue bisa bikin masa depanlo suram, tau nggak?” bentak Messi sesaat setelah menempelkan ponselku ke telinganya.

Bukan! Bukan Juna yang bikin aku nangis. Dia nggak tahu apa-apa. Aku menyanggah tuduhan Messi, karena tahu itu salah. Tapi suaraku nggak keluar, hanya tanganku saja yang menggapai-gapai ke arah Messi.

“Lo diam aja, Han! Emang gue yang dorong-dorong lo buat terima ajakan Juna, tapi sumpah! Gue nggak tahu kalau dia brengsek,” ucap Messi tanpa menutup sambungan telepon. Sepertinya dia sengaja agar si penelepon tahu apa yang dia katakan padaku. “Apa?!” bentaknya pada penelepon, “kalau memang benar apa yang lo bilang, ke sini! Ngomong di depan gue. SEKARANG!” bentaknya, lalu mematikan sambungan telepon dan melempar ponselku ke kasur.

Aku menelan ludah. Tenggorokanku rasanya kering sekali. Messi ternyata galak, aku baru kali ini melihatnya marah begini. Aku jadi khawatir sama nasibnya Juna, kalau dia jadi datang. Sebelum terlambat, mungkin lebih baik aku ceritakan kejadian yang sebenarnya.

“Mes! Uhm, bukan Juna!” ucapku pelan nyaris berbisik. Aku berdeham, agar saluran di tenggorokanku sedikit terbuka, “Bukan Juna, Mes,” imbuhku dengan suara yang lebih jelas.

Messi duduk di pinggir tempat tidur, menatap lurus ke mataku. Dia bangkit sambil melotot dan berkacak pinggang setelah mendengar penjelasanku.

“Jadi bukan Juna yang bikin lo nangis kayak tadi?” dia masih melotot, lalu menepuk jidatnya sendiri. “Kenapa nggak ngomong dari tadi, Hanaaa! Gue udah maki-maki orang, pake ngancam mau pecahin telornya segala.” Messi mengentakkan kaki.

“Gue udah ngasih tahu, tapi suara gue nggak keluar. Kan gue udah ngasih kode tangan. Lo aja yang nyerocos terus.”

“Aduh, Farhana Widjaya! Mana gue ngerti bahasa kalbu. Emang gue apaan?”

Terdengar pintu diketuk.

“Mampus gue! Itu pasti Juna. Gue ngomong apa sama dia?”

Aku menyeringai. Tadi galaknya minta ampun, sekarang malah ketakutan, batinku. “Gue aja yang buka pintu, nanti gue yang minta maaf.” Aku melompat dari tempat tidur, untuk membuka pintu. Ternyata Messi menahanku, dengan mengarahkan telapak tangannya di depan tubuhku.

“Omongan gue, tanggung jawab gue,” ucapnya pongah.

Terdengar suara ketukan lagi sebelum Messi membuka pintu.

“Hai Jun! Ganteng banget, padahal udah malem gini,” sapa Messi dengan suara yang dibuat manja.

Aku berusaha keras untuk menahan tawa. Pipi dan tenggorokanku sakit, karena kuhalangi keluarnya suara. Sayang, akhirnya meledak juga tawaku, saat Juna mengulang kata-kata Messi di telepon tadi. Tawaku berhenti seketika saat Juna berada di ujung tempat tidur. Aku diam, saat dia menatapku tanpa suara. Sorot matanya tidak menyiratkan kemarahan atau sejenisnya, karena itu aku jadi salah tingkah dibuatnya. Dia mendekat, kini berdiri di depanku. Aku menyedot ingus, sebelum memaksa bibirku tersenyum.

“Kenapa?” katanya sambil membungkuk dan terus menjaga kontak mata.

================================

Aku tuh paling nggak bisa digituin. Iya kayak Hana yang ditatap Juna gitu. Bawaannya mau nyosor. Ekh. Maap keceplosan.

Kayaknya efek kekenyangan nasi padang, masih berlanjut nih.

Maaf yaa, lama updatenya hari ini. Tadi diajak main tepokan kartu ultraman sama kiddos.

Mau boboin krucils dulu, semoga nggak ikut ketiduran 😂😂😂

-San Hanna-

LOVAUDITWhere stories live. Discover now