(14) Big Trouble start from here

5.1K 475 3
                                    

Untung saja besok hari minggu, sekalipun aku begadang malam ini, nggak perlu takut kesiangan. Sial! Sudah jam dua belas dan aku masih belum ngantuk. Gara-gara si kutu kupret sialan, aku jadi luntang-lantung nggak jelas begini. Jangan berpikiran yang aneh-aneh tentangku. Kalau kamu ada di posisiku, pasti akan melakukan apa yang aku lakukan. Eh, belum tentu juga sih, kan kamu bukan aku.

Juna telepon aku hanya untuk memastikan keberangkatan untuk hari Senin. Padahal waktu briefing Jumat kemarin, sudah dijelaskan, semua tim kumpul di kantor dan berangkat bareng naik mobil travel. Ultimatum Bu Iyem, tim harus berangkat bareng, nggak boleh mencar. Basi kan pertanyaannya?

Bagian yang paling menyebalkan, aku sudah mematikan sambungan telepon, lalu dia, si Junet, telepon lagi. Begitu terus sampai tiga kali. Pas ponselku berkedip lagi untuk yang keempat kalinya, aku angkat dan langsung aku semprot, “Heh! Nggak punya kerjaan ya? Lo nggak tahu, kalau perbuatan lo ini bisa dipidanain? Bisa masuk pasal perbuatan tak menyenangkan. Ngerti lo!” hardikku.

“Maaf, Hana, kalau saya ganggu. Saya nggak berniat jelek kok. Maaf ya.”

Malam ini, untuk kali kedua, tubuhku menjadi kaku. Setelahnya terasa sangat lemas, seperti tak bertenaga.  Aku jatuh terduduk di tepi tempat tidur. Erland. Itu Erland! Aku coba mengatur napas, “Halo? Nggak kok. Kirain si Juna lagi, dari tadi gangguin terus...,” aku belum selesai bicara, tapi di ujung sana hening. “Land? Erland, kamu masih di sana? Halo?” tidak ada suara, lalu terdengar bunyi tut..tut..tut. Sambungan terputus.

Kok dia matiin teleponnya? Apa dia marah? Kenapa? Aku harus gimana? Pertanyaan itu berputar di kepalaku. Apa aku telepon balik, ya? Kalau nggak dijawab gimana? Kalau dijawab, aku ngomong apa? Kepalaku berkedut. Rasanya mau pecah. Aku nggak pernah mengalami hal ini sebelumnya. Aku tuh kenapa ya? Karena memikirkan pertanyaan-pertanyaan itu, aku benar-benar terjaga.

Di plafond nggak ada yang menarik, tapi terus saja mataku melihatnya. Tanpa terasa, buliran bening keluar begitu saja dari sudut mata. Dadaku sesak. Kuraih si Piyo yang warna kuningnya makin memudar, untuk menutup mata.

Annisa! Aku telepon Annisa saja. Tapi,  nggak mungkin jam segini dia masih bangun, dia kan pelor-nempel terus molor. “Erland, telepon aku lagi dong! Bilang tadi kamu nggak sengaja. Kepencet kek, baterainya habis kek, apapun,” lirihku sambil mengusap-usap ponsel. “Aku udah gila kayaknya.”

***

“Han, kamu jaga diri baik-baik, ya! Jangan berbuat yang aneh-aneh! Anak perempuan itu harus berpikir panjang. Kamu masih muda, jangan rusak masa depanmu, untuk emosi sesaat.”

Aku menggangguk. Nasihat serupa sudah kudengar berkali-kali. Bukannya nggak senang diperhatikan, tapi kalau dinasihati seperti itu, tiga kali dalam sehari, apa nggak over dosis?

“Kamu kalau butuh akomodasi selama di sana, langsung temui Pak Win. Nanti Papa hubungi.”

“Nggak usah, Pa. belum tentu Hana ada waktu buat keliling-keliling. Lagian Hana tuh kerja, bukan jalan-jalan. Tempat rekon sama hotelnya dekat, tinggal jalan kaki.” Aku melahap roti selai cokelat dengan cepat. “Kak, nitip piring sama gelas, ya. Driver-nya udah sampai depan,” pintaku ke Farish. Tanpa menunggu persetujuannya, aku merapatkan peralatan makanku ke hadapannya, “makasih, ya.” Sebelum dia menolak, aku buru-buru mencium punggung tangan Mama-Papa, menyeret cepat koperku keluar.

Sepanjang jalan, aku masih berharap Erland akan menghubungiku. Entah telepon, chat, missed call, atau pasang status di WA. Harapan tinggal harapan, sampai kaki menjejak di kantor tercinta, ponselku masih sepi.

================================

Buat nulis part ini, aku harus bayangin masa-masa pra-sejarah. Berharap feelnya dapet dan nyampe ke pembaca.

Kan pembaca sekarang pinter-pinter. Pasti tau cara bedain bacaan yang nulisnya pake hati apa nggak. Eh, aku pake jari dan jempol tangan digoyang. Oops.

Tentang kerjaan seputar serba-serbi auditor, next part aja ya. Nggak jadi part ini. Lagi melow nih.
See you soon. 😘😘😘
-San Hanna-

LOVAUDITWhere stories live. Discover now