(19) Meet Him

4.8K 459 5
                                    

Aku memperhatikan lampu Kristal yang menggantung di tengah lobi sepanjang jalan. Nggak tahu kenapa, mataku seperti terkunci. Aku terkesiap saat tubuhku seperti ditarik seseorang. Dadaku berdegup kencang, saat sadar aku nyaris jatuh dari ujung tangga. Kakiku jadi lemas, nggak bertenaga. Aku duduk begitu saja di lantai dan bersandar pada railing.

“Lo hati-hati, dong, kalau jalan! Kalau tadi jatuh gimana? Kerjaan baru setengah jalan, nih.”

Aku mendongak untuk melihat orang yang menegurku barusan, sepertinya dia juga yang menyelamatku. Kenapa jadi kayak di film-film, sih! Eh, nggak ada adegan gendong-gendongan, berarti nggak.

“Han! Lo nggak pa-pa, kan? Perlu gue gendong turun?”

Erland? Erland ada di sini? nyusul gue?

“Woi! Perasaan lo nggak kejedot tadi. Kok jadi gini?” ucap orang itu sambil mengguncang-guncang bahuku.

“JUNA!” seruku setengah berteriak. “Ngapain lo di sini?”

“Wah! Beneran konslet sih cewek. Harusnya lo bilang, Makasih, ya, Jun, udah nolongin gue, bukannya malah nanya ngapain di sini?” omelnya.

“Ng ... sori. Thanks, ya!” ucapku pelan.

“Maaf, Nona. Kata sorry dan thanks aja, nggak cukup.” Juna menunduk hingga wajah kami sejajar. “Nonton, yuk!” ajaknya.

Aku mendelik. Bisa-bisanya dia ngambil kesempatan.

“Ya udah kalau nggak mau. Usaha boleh, dong? Kan nggak maksa, gue nanya. Kalau lo mau, ya syukur, kalau nggak, ya udah.” Juna bangkit, “Lo mau ke mana sih? Tumben keluar kandang, eh kamar.”

Rasanya otot kakiku sudah kembali normal, aku berusaha untuk berdiri tegak. Juna sempat ingin mengulurkan tangan untuk membantuku, tapi tidak jadi. Kalau kelamaan duduk di situ, nanti dikira gembel lagi.

“Gue mau nyari tukang mi ayam. Bete sama penganten lebay di kamar. VC melulu, sampai ke kamar mandi juga video-an coba.”

“Kalau lo nggak mau nonton, gue ikut makan mi ayam boleh, dong?”

Satu lagi orang keras kepala dengan daya juang tinggi, yang ditakdirkan hadir dalam hidupku. Bisa apa aku selain mengiakan. Kenapa di kantorku banyak cowok cerewet, ya? Dari tadi si kutu kupret ngomong melulu. Padahal aku nggak ngerespon lho omongannya dia.

Capek juga jalan dari ujung ke ujung cuma buat cari mi ayam. Bukannya nggak ada, tapi mereka kompak bilang habis. Padahal baru jam Sembilan malam. Kalau mi kocok banyak, sayang aku nggak minat.

Juna mengajakku mampir ke jalan yang menuju Cihampelas Walk. Dia nggak menunggu aku menjawab, langsung saja ngeluyur pergi dengan setengah berlari. Aku jadi kayak anak hilang ditinggal sendirian di pinggir jalan. Ini kaki juga malah belok mengikuti langkah Juna. Ada pohon besar yang dihiasi lampu-lampu panjang. Ada yang berkelip, ada yang mirip bintang jatuh. Bagus buat latar foto. Kalau kata Annisa, instagramable. Jadi kangen sama Annisa.

Selesai mengagumi pohon dan lampu-lampunya, aku jadi bingung, karena kehilangan jejak Juna. Aku kepikiran untuk telepon, namun tidak kulakukan. Bagaimana bisa? Ponselku memang sengaja ditinggal di kamar. Aku pikir mudah cari tukang mi ayam di sini, ternyata sebaliknya. Kuputuskan untuk menunggu di kursi panjang, di bawah pohon yang penuh cahaya meteor buatan. Kalau dalam setengah jam, Juna nggak muncul, aku langsung balik ke hotel. Untung tinggal lurus saja, nggak pakai belok-belok.

Niat hati aku yang mau mengamati orang-orang lalu-lalang di sini, eh malah sebaliknya, aku yang jadi tontonan mereka. Mungkin mereka kasian melihatku, sendirian di bawah pohon. Untung saja, aku nggak pakai dress putih panjang. Bisa-bisa aku dikira penunggu nih pohon. Aku jadi merinding sendiri membayangkan hal itu. Aku beranjak dari kursi, bodohnya aku malah mendongak ke pucuk pohon, seperti mencari sesuatu yang tak kasat mata. Kakiku bergerak mundur, hingga aku menabrak seseorang. Orang itu menjerit. Mungkin kakinya terinjak olehku.

“Ma ... maaf! Aku nggak sengaja,” ucapku penuh penyesalan. Aku melihat penampilan orang yang kutabrak dengan jelas. Perempuan, tinggi, iya lebih tinggi dari aku, tubuhnya proporsional, mirip model. Rambutnya rapi bergelombang. Dia memakai baju tanpa lengan. Cantik. Serius dia cantik banget, aku jadi minder.

Dia memeriksa kakinya yang dibungkus flat shoes dengan sedikit membungkuk. Aku mengulangi permintaan maafku. Dia menegakkan tubuhnya, dan tersenyum, “Never mind,” katanya sambil lalu.

Mataku terus melekat padanya. Dia mengangkat tangan dan melambai kepada seseorang. Tanpa diperintah, kepalaku reflek mencari siapa yang disapa olehnya. Seorang laki-laki yang nggak kalah tinggi, berdiri menantinya.

Lagi-lagi kakiku lemas. Kali ini aku nggak bisa terduduk begitu saja. Kayak orang bodoh, aku terus menatap perempuan dan lelaki itu saling mendekat satu sama lain. Wajah mereka sangat dekat, ah mereka cipika-cipiki.

Kepalaku jadi berat, mata menghangat, lalu air mata meluncur tanpa aba-aba.

"Anissa tukang bohong!"

================================

Siapa tuh cewek yang dilihat Hana?
Siapa juga cowoknya?

Apa kaitannya sama Annisa?

Terus si Juna ke mana?

Kok aku jadi penasaran, ya?
Kamu, penasaran nggak?

*

Aku lagi nyari ide buat maksi nih. Klo tanya Hana, pasti bilangnya, "mi ayam, aja!"

Ah, tuh orang, mi melulu. Kalau ususnya kriting baru tau rasa.

Aku cari-cari dulu lah. Kamu baca aja, jangan lupa vote, komen, dan share yaaa. Kamu kan baik hati dan tidak sombong.

😘😘😘

San Hanna

LOVAUDITWhere stories live. Discover now