Cewek itu cepat berlari menuju ke kelasnya. Dengan air mata yang terus mengalir deras sontak membuat para siswa yang melihatnya kelimpung keheranan. Morin tidak memikirkan itu, ada hal yang lebih penting sekarang yaitu mamanya yang sedang dirawat di rumah sakit.

Morin menyeka air matanya ketika dirinya sudah berada diambang pintu kelas. Cewek itu bersikap normal seperti biasanya. Ia tidak mau sahabatnya menjadi ikut khawatir akan hal ini. Morin berusaha menutup kejadian itu semaksimal mungkin.

"Lo nangis ya Rin?" Yuli sempat menaruh rasa curiga. Memang sebenarnya mata Morin agak sedikit sembam.

Morin menggeleng kepalanya paksa dan tersenyum. Walaupun dalam lubuk hatinya terasa sangat pedih menahan air mata yang akan keluar menjadi tangisan.

Morin memasukkan buku-buku pelajaran, tempat pensil, dan handphonnya ke dalam tas. Cewek itu terlihat sangat gugup sambil tangannya tidak berhenti bergetar.

"Gue harus pergi sekarang," ucap Morin sembari menggendong tasnya.

"Mau kemana Rin? Lo mau bolos?" tanya Clara asal. Kedua sahabatnya itu memang tidak ada yang tahu, tetapi melihat tingkah aneh Morin dapat menyebabkan Yuli dan Clara ingin menyelidikinya.

"Ada urusan," jawab Morin singkat. Ia berjalan setengah berlari menuju keluar kelas.

Morin sangat ingin cepat sampai di rumah sakit. Ia sangat khawatir keadaan mamanya, tangis mulai menjadi saksi nyata atas kepedihan yang telah dibuat.

Selepas turun dari taksi. Morin bergegas masuk ke rumah sakit itu. Ia bertanya kepada salah satu suster yang terlihat sedang mengerjakan tugasnya.

"Sus, pasien bernama ibu Herlina ada disini?" Morin memastikan bahwa memang benar mamanya itu dirawat di rumah sakit ini. Cewek itu tampak terengah-engah.

"Sebentar ya mbak." suster itu tengah melihat daftar nama pasien yang dirawat.

"Ouh ada mbak. Tempatnya di ruang mawar no empat puluh tiga."

"Terima kasih sus."

Morin melangkahkan kakinya bergegas ke ruangan itu. Ia sangat cemas, kegelisahan menyelimuti tubuhnya. Deru napasnya semakin kencang serta keringat dingin membasahi pelipisnya.

Cewek itu membuka pintu ruang rawat yang diberitahu suster itu. Morin melangkah masuk, Nanda tiba-tiba datang memeluk dirinya yang sedang berdiri diambang pintu.

Nanda terisak sambil memeluk Morin. Cewek itu ikut menangis sedih membalas pelukan sang adik. Morin buru-buru melangkahkan kakinya menuju ranjang dimana mamanya tergeletak lemas disana.

Herlina tampak sedang tertidur pulas, mungkin pengaruh obat yang diberikan oleh dokter. Morin menangis tersedu-sedu memeluk tubuh mamanya yang masih memejamkan mata rapat. Cewek itu memegang pipi Herlina dengan lembut.

"Ma, kenapa mama bisa begini," ucap Morin disela tangis derunya.

"Jangan tinggalin Morin ma!" Morin semakin erat dalam pelukan Herlina. Cewek itu masih memakai pakaian sekolahnya.

Sebuah tangan terjulur mengelus rambut Morin secara pelan. Cewek itu dapat merasakannya dengan jelas. Ia langsung menatap mamanya yang terlihat tersenyum mengarah ke dirinya.

"Mama masih kuat, mama akan bersama terus dengan kalian," ungkap lirih Herlina. Perempuan berparas cantik itu tersenyum menatap Morin dan Nanda bergantian.

"Mama gak pa-pa kan?" Morin masih dikelilingi dengan rasa khawatir yang tinggi.

Herlina mengangguk pelan. Perempuan itu kembali tersenyum simpul, walaupun keadaannya masih sangat lemah dan butuh istirahat. Herlina mengalami kecelakan yang tidak begitu parah, hanya ada luka dibagian pelipis, siku dan dengkul kakinya serta terdapat luka-luka kecil.

"Siapa yang membawa mama kesini?" Morin kembali bertanya menatap lekat manik wajah Herlina. Sesaat ia memandang Nanda, Morin menggeleng pelan karena tidak mungkin adiknya yang membawanya kesini.

"Tadi ada anak laki-laki yang nolongin mama," jelasnya.

"Dia sangat baik hati dan lemah lembut kepada mama."

Morin berpikir sebentar. Siapa gerangan laki-laki yang disebut mamanya itu. Morin sangat ingin menemuinya, ia akan mengucapkan banyak berterima kasih kepada orang itu.

"Terus kemana dia sekarang ma? Udah pulang," tanya Morin.

"Mama gak tahu, soalnya tadi mama tidur."

Morin langsung menatap Nanda yang diikuti tatapan balik adiknya itu, "Kamu tahu dimana dia?"

Nanda mengangguk pelan, "Dia sedang keluar sebentar, katanya ada urusan mendadak. Tapi, kakak itu udah janji bakal kesini lagi nemenin Nanda nungguin mama."

Morin sangat fokus menatap wajah adiknya itu tanpa memalingkannya ke arah lain. Cewek itu semakin penasaran siapa gerangan cowok yang telah menolong mamanya itu.

***

.

Cold as Ice Cubes (END)Where stories live. Discover now