Pandangan keduanya bertemu. Kania tersenyum bahagia dan menepuk pelan bahu Olyn. "Gue ucapin selamat atas usaha lo selama ini, Lyn. Sukses untuk calon Gadjah Mada Muda."

"Perjalanan hidup akan kembali dimulai dengan jenjang dan perkembangan usia menuju kedewasaan diri." sahut gadis itu ikut tersenyum. "Sukses juga buat lo lulus jalur SNMPTN Psikologi UI."

"Terimakasih." balasnya tersipu, lalu mencoba menghilangkannya dengan bertanya pada Olyn. "Itu kan Universitas impian lo, kenapa kemarin daftar jalur undangan buat study di Jogja?"

"Sepertinya setelah rasa penasaran lo tahan, saatnya untuk gue bilang yang sejujurnya." gadis itu menghela napas pendeknya. Olyn sudah mengikhlaskan semua perasaannya, tapi tetap saja ia manusia biasa yang berharap waktu akan berpihak padanya. "Universitas ternama itu adalah impian dia, Ka. Tidak menutup kemungkinan juga kalau gue mulai merasa nyaman pada pilihan itu. Merasakan atmosfir yang berbeda di kota dan teman baru."

Olyn menjelaskan segala sesuatunya karena melihat tatapan gadis itu berubah sendu. Alasan pertamanya tidak akan menjadi tonggak utama karena ia sudah mengambil langkah dan memperkuat prinsip hidup.

Seseorang yang masih betah singgah di hatinya selalu menyadarkan Olyn untuk tetap berdiri di masa tersulit sekali pun.

Julian. Memberikan pelajaran hidup yang sangat membekas di hati Olyn.

"Dia gak akan kembali ke Indonesia, Lyn." Olyn menutup kelopak matanya. Nyeri menghinggapi rongga dada. "Julian akan melanjutkan program studi Kedokteran di Amerika." satu tetes air mata luruh.

Dengan cepat menghapus air mata dan tersenyum paksa pada Kania yang menatapnya kasihan. "Gue udah tau kok. Kan lo yang bilang sendiri minggu lalu." sahutnya setenang mungkin.

Kania memang menceritakan semuanya pada Olyn setelah apa yang didengarnya ketika berkunjung ke rumah Joshua. Ketika ia memasuki pintu utama, langsung saja ia bingung melihat rona kebahagiaan dari wajah Joshua yang selama ini murung. Satu nama yang disebut Joshua membuat Kania membeku. Ia mulai tahu si penelepon itu dan hal yang membuatnya kaget adalah keputusan orang di seberang sana membuat Joshua terduduk lemah di sofa.

"Ja-di, l-lo bakal lanjut kuliah Kedokteran di Am-merika?"

Kania mengerjapkan matanya saat bahunya terguncang. Ia melihat Olyn yang tersenyum manis padanya. Raut wajah ikhlas selalu ia pancarkan satu setengah tahun ini.

"Gue belajar mengikhlaskan semuanya. Mungkin kepergian Julian awalnya buat gue frustrasi. Tapi, tanpa sadar kedekatan gue dan dia mengajarkan banyak hal. Dia mulai memupuk rasa tegar di hidup gue. Gue hanya perlu yakini satu hal, bahwa perjalanan hidup gue baru dimulai."

"Mama, saudara-saudara gue, keluarga besar gue, sahabat dan teman menunggu langkah gue selanjutnya. Hidup ini adalah pilihan, Ka. Gue menjalani layaknya remaja pada umumnya. Berusaha menerima kenyataan pahit dalam percintaan, tapi gue gak akan terperosok begitu dalam."

"Logika dan perasaan gue berfungsi pada porsinya masing-masing." ia menepuk hangat bahu kanan Kania. Gadis itu tengah menatap Olyn tak berkedip. Olyn tersenyum manis sambil mengedipkan sebelah matanya. "Gue ke perpus dulu, ya. Mau cek email yang masuk."

Kemudian melangkah santai—mengikis seluruh beban dan rasa kecewa. Semua rasa yang ditinggalkan itu perlahan menguap.

Bukan tentang meninggalkan atau pun melepas. Bagaimana persepsinya, hanya mereka yang merasa ditinggalkan dan dilepas-lah mampu memahami semuanya. Mengambil keputusan yang awalnya sulit. Namun ketika mereka mampu memposisikan letak logika dan hati, artinya mereka telah mampu berdiri tegak di antara masa lalu dan masa kini.

SOMPLAK PLUS GESREK (SELESAI)Where stories live. Discover now