40~Throwback: 2~

1.5K 134 61
                                    


Teman baru? Enemy? Um. Mungkin bisa lebih dari sekadar itu.

Lembaran kertas dilempar keras di atas meja oleh seorang lelaki berjas putih. Ia mengusap wajahnya kasar lalu melepas jas itu dan menaruhnya asal di atas meja.

"Lihat Riana!" Ucap lelaki dengan garis wajah tegas itu nyaris seperti sebuah teriakan. "Ini hampir kali sepuluh aku datang ke sekolah hanya untuk mendapatkan kabar buruk tentang anak kita."

Tangan wanita itu terulur mengambil tumpukan hasil nilai ujian dan menatap miris huruf E, dominan di setiap lembaran.

"Belakangan ini Lian mudah kecapean, mungkin dia kurang konsentrasi." Jelasnya memberi pengertian.

Lelaki itu menyisir rambutnya sehingga tatanannya tidak rapi seperti biasa. "Kamu jangan belain dia Riana!

"Dia bukan anak kita yang cerdas, dan disiplin seperti orangtuanya." Ucapnya mulai emosi.

Ia menarik bahu istrinya untuk menghadap dirinya. "Dengarkan aku Riana," Wanita itu mendongak dan menatap dalam manik cokelat karamel itu. "Anak kita jadi seperti ini karena pergaulannya. Dia sekarang jadi bebas dan liar, tanpa mau mendengarkan nasehat kedua orangtuanya."

Ketegangan di dalam ruang kerja Tuan Schmidt terdengar hingga keluar. Pintu ruangan tidak ditutup rapat sehingga anak laki-laki itu dapat mendengar jelas perdebatan di antara kedua orangtuanya.

Wajahnya tidak terlihat sedih, hanya sikap datar sebagai bentuk ekspresi mengetahui hal yang pasti terjadi di antara orangtuanya mengenai nilai akademik nya di sekolah.

"Biarkan saja mereka bertengkar."

Tubuhnya menegang saat dirasa bahunya di rangkul lalu ia menoleh mendapati wanita berusia lanjut itu tersenyum lembut padanya. "Katanya mau ambil langsung pesanan Nenek di toko? Warum hier (Kenapa di sini)?"

Ia menggaruk tengkuknya, "Iya, Nek, maaf." Ucapnya.

Nyonya Schmidt mengelus puncak kepala cucunya. "Yasudah, sekarang kamu pergi dan langsung pulang, okay?" Balasnya tegas.

"Iya Nek. Lian versprach, würde bald zu Hause sein (Lian berjanji, akan segera pulang) ."

**

Mata Riana mulai berkaca-kaca, "Ab," Bibirnya bergetar menyebut nama suaminya. Abelard, lelaki itu menatap balik manik hitam di depannya. "Lian seperti itu karena kita sebagai orangtua terlalu mengekang pergaulannya. Dia ingin punya teman sepermainan nya sendiri."

"Tapi apa buktinya? Dia telah salah memilih, bukan?" Selanya tanpa menunggu Riana menyelesaikan ucapannya.

"Ab, dengarkan aku." Ia menangkup wajah lelaki itu. "Peran kita sebagai orangtua mengawasi dia dalam pergaulannya, lalu apa peran kita sudah dilakukan?"

Hening.

Abelard diam membisu dan bibirnya tertutup rapat sambil memikirkan kembali ucapan Riana.

"Kita terlalu sibuk memikirkan urusan kita masing-masing, tanpa ingin tau apa mau anak kita."

"Riana hat recht, Ab (Riana benar, Ab)."

Keduanya menoleh ke arah pintu dan Nyonya Schmidt telah berdiri di sana. Ia berjalan menghampiri keduanya dengan tatapan lembut andalannya.

Ia menepuk pelan bahu Abelard. "Kamu terlalu keras mendidik anak mu tanpa mau tau keinginannya. Ibu mengatakan ini karena Lian sering bercerita ingin mempunyai teman nya sendiri. Dengan kata lain, ia ingin memilih menurut kata hatinya."

SOMPLAK PLUS GESREK (SELESAI)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt