"Kupikir cukup ibumu saja yang selalu memarahinya. Bagaimana bisa ayah ikut memarahinya juga? Dia akan semakin tidak betah dirumah. Lagipula memangnya ayah pernah marah padamu juga huh?"

Soomi diam saja. Tak merespon lelucon yang berusaha dilontarkan ayahnya. Sorot matanya meredup. Kabut bening menyelimuti matanya. Tak lama pipinya telah basah dengan airmata.

"Soomi..." ucap ayahnya saat sadar bawah putrinya menangis.

"Tidak apa-apa ayah.. Aku hanya lelah. Aku akan pergi ke kamar dan tidur duluan. Aku akan memarahi Sooji besok pagi saja." ucap Soomi sambil melepas pelukannya di tangan sang ayah dan menghapus airmatanya.

"Kalau begitu biar Ayah yang menunggu Sooji pulang. Kau istirahatlah.."
Soomi mengangguk dan berlalu setelah mencium pipi ayahnya.

Pria itu menghela nafas setelah kepergian putrinya. Seolah beban berat sedang menghimpit pundaknya.

Bae Soomi dan Bae Sooji.
Mereka adalah putri kembar keluarga Bae. 25tahun lalu, kebahagiaan menyelimuti keluarga Bae saat dokter menyatakan bahwa Nyonya Bae dinyatakan hamil anak kembar, apalagi saat lahir mereka mendapati Soomi dan Sooji memiliki wajah yang kembar indentik. Mereka bersuka cita untuk itu.

Tapi seperti kata pepatah, kebahagiaan dan kesedihan datang dalam satu paket. Kebahagiaan yang mereka rasakan tak berlangsung lama.

Putri pertama mereka, Bae Soomi didiagnosis menderita Limfoma Hodgkin ketika usia 15tahun. Sejenis kanker darah yang menyerang kelenjar getah bening karena keabnormalan yang terjadi pada limfosit (sel darah putih).
Meski kanker ini termasuk jenis kanker yang paling lambat penyebarannya dibanding dua jenis kanker darah lain, tapi tetap saja penyakit ini akan membahayakan jika tidak segera mendapat perawatan.

Hati orangtua mana yang tidak hancur mengetahui bahwa hidup salah satu putri mereka terancam. Apalagi disaat putrinya sedang dalam masa remaja. Masa-masa yang seharusnya dipenuhi dengan mimpi dan suka cita.

Sejak saat itu kehidupan keluarga mereka berubah total. Keluarga Bae yang tinggal di pusat kota Seoul harus sedikit menepi ke pinggiran kota demi mendapatkan lingkungan yang lebih sehat bagi Soomi. Awalnya, Ny. Bae memutuskan akan mengajak seluruh keluarganya kembali ke desa asalnya, Gwangju. Tapi pekerjaan Tn. Bae yang berada di Seoul tak mungkin ditinggalkan. Lagipula Sooji saat itu juga menolak pindah karena tak ingin kehilangan teman-teman di sekolahnya. Sementara Soomi juga masih harus terus mondar-mandir ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan intensif. Akhirnya mereka memutuskan untuk pindah ke pinggiran kota Seoul.

Kepindahan mereka dari Seoul membuat Soomi dan Sooji juga harus pindah sekolah. Ny. Bae mendaftarkan mereka pada lembaga homeschooling yang tidak mengharuskan mereka pergi ke sekolah. Kondisi Soomi yang tak boleh kelelahan membuat orangtuanya memutuskan hal itu. Tentu saja, secara otomatis Sooji pun juga melakukan hal yang sama. Bersekolah di rumah. Hal yang pada awalnya sangat ditentang Sooji. Dia tak ingin pindah ke Gwangju karena tak ingin pindah sekolah, lalu apa bedanya jika tidak ke Gwangju tapi tetap pindah sekolah? Begitu pikirnya saat itu.

Dia merajuk selama beberapa hari. Tak pernah turun dari kamar saat gurunya tiba. Bujukan Tn. Bae hingga kemarahan Ny. Bae juga tak mampu melunturkan kekerasan hatinya saat itu. Dia sempat berfikir egois, mengapa dia harus ikut bersekolah dirumah sementara bukan dirinya yang sedang sakit. Pikirannya yang masih labil tak mampu berfikir dengan panjang saat itu. Tapi hatinya yang berkeras itu mendadak lunak saat mendapati kondisi Soomi yang semakin menurun.

Meaning Of LoveWhere stories live. Discover now