Serasa banyak kupu-kupu yang berterbangan. Terasa aneh, tapi menyenangkan.

"Bisa nggak, Sal, kamu jangan manggil Andi dengan sebutan mas? Saya nggak suka, soalnya kedengaran mesra gitu, kamu manggil dia." tanya Yusuf yang tak menyembunyikan rasa tak terima di nada suaranya.

"Lalu, saya harus manggil apa? Panggil nama aja nggak sopan, 'kan dia lebih tua dari saya." Salwa menatap bingung pria yang duduk di kepala meja.

"Saya juga lebih dari kamu, tapi kamu manggil saya bapak bukannya mas, membuat saya selalu merasa lebih cocok jadi ayah kamu daripada lelaki yang pernah menyentuh kamu secara intim." rajuk Yusuf yang juga bingung kenapa ia bisa bersikap kekanakan begini.

                                                        
Salwa menunduk malu. Warna merah tak hanya menghiasi wajah tapi juga menjalar hingga ke telinga. Mendengar kata menyentuh kembali diucapkan, Salwa jadi mengingat kejadian tadi pagi. Saat ia terbangun dalan pelukan suaminya, sama seperti hari-hari sebelumnya.

Namun yang membedakan, seluruh kancing piyamanya telah terbuka, hingga membuat kedua payudaranya yang tak mengenakan bra terpampang begitu jelas, dan terdapat beberapa bercak merah yang menghiasinya. Saat itu Salwa cuma bisa ternganga dengan wajah merona.

"Kenapa muka kamu merah begitu?" tanya Yusuf yang sudah melupakan rasa kesalnya, karena wajah Salwa yang memerah membikin wanita muda itu jadi semakin cantik saja di matanya. "Pasti kamu lagi mikirin kejadian tadi pagi, 'kan? Kenapa, kamu mau saya tambahin lagi stempel di susu kamu menggunakan bibir saya?" iseng Yusuf menggoda, tidak merasa takut ada orang lain yang mendengar kata-kata tak senonoh yang ia ucapkan, toh hanya ada mereka berdua di sana, sedangkan Mina sudah pulang setelah anaknya datang menjemput.

Wajah Salwa bukan kepalang lagi merahnya. Lidahnya keluh, hingga akhirnya ia hanya mampu menunduk dengan kedua tangan saling meremas di atas pangkuan.

Wanita muda itu merasa gelisah. Berada di dekat pria yang telah menikahinya itu, Salwa selalu merasa gerah, lalu keinginan untuk disentuh begitu menggebu ia rasakan. Itulah yang terjadi kepadanya beberapa waktu belakangan ini. Herannya, Salwa hanya merasa bagai cacing kepanasan terhadap satu orang pria saja yaitu pria paruh baya yang masih terlihat begitu menawan di usia senjanya itu.

Seakan tahu apa sebabnya wajah Salwa memerah, Yusuf yang merasa senang menarik lembut tangan wanita itu agar berdiri dari duduknya. Saat sang istri telah berdiri di samping kursi yang ia duduki, dituntunnya wanita itu untuk duduk di atas pangkuan dengan posisi mengangkang. Hingga pertemuan dua kelamin yang terhalang pakaian yang dikenakan tak lagi terelakan.

Sontak saja baik Yusuf maupun Salwa sama-sama terkesiap. Mereka masih mengingat dengan jelas bagaimana tubuh bagian bawah mereka menyatu dalam pusaran gairah yang tak tertahankan.

Hidangan makan malam lezat yang terhidang di atas meja pun terlupakan. Yang ada dipikiran mereka hanyalah agar keintimana tersebut tidak berakhir.

                                                        
"Pak... " gumam Salwa pelan, semakin ia bergerak gelisah, maka benda keras di bawah sana terasa semakin keras menekan dirinya.

"Saya sebenarnya rada nggak rela, Sal, kamu panggil saya begitu. Tapi saya juga nyadar diri, umur kita memang terpaut sangat jauh, wajar kalau kalau kamu bingung mau manggil saya apa." tutur Yusuf yang tangannya sudah bergerak sendiri membuka kancing kemeja kebesaran yang dikenakan oleh Salwa. Seperti biasanya, begitu kancing tersebut terbuka seluruhnya, pemandangan payudara tanpa penutup menjadi hal terindah yang ia lihat. Dan tangannya langsung menggenggam kedua tangan Salwa saat istrinya itu terkesiap ingin menutup kembali pakaiannya. "Jangan ditutup." pinta Yusuf seraya membalas tatapan malu-malu Salwa padanya.

Takdir Cinta [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now