Melihat betapa kerasnya hidup yang harus Salwa jalani melalui banyaknya goresan di telapak tangan wanita muda itu, Yusuf tiba-tiba saja merasa sedih melanda hatinya.

Adelia, putrinya yang manja dan berusia lebih tua hampir 2 tahun dari istrinya ini, tidak pernah sekalipun merasakan kesulitan dalam hidupnya. Bahkan untuk segelas susu saja tidak pernah Adelia buat sendiri. Apa-apa serba dilayani, sampai menimbulkan rasa takut di hati Yusuf, kelak putrinya itu akan tumbuh seperti mantan istrinya.

"Bapak ngelamunin apa?"

"Nggak ngelamunin apa-apa." jawab Yusuf cepat, tak mau Salwa tahu kegundahan hatinya. "Di dalam ponsel ini cuma ada dua nomor. Pertama punya saya, lalu yang kedua punyanya Andi, asisten saya di kantor. Kalau ada apa-apa, dan kamu nggak bisa menghubungi saya, kamu bisa menelfon asisten saya itu. Tapi, kamu tau 'kan bagaimana cara menggunakan ponsel?" Yusuf merasa ragu jika Salwa pernah mempunyai ponsel sebelumnya.

Dan jawaban tersebut Yusuf lihat tak lama dengan Salwa yang menggeleng serta jawaban polos yang wanita itu ucapkan. "Saya nggak tau, pak. Saat masih tinggal di rumah ibu dulu, saya bahkan dilarang buat ngangkat telfon rumah kalau lagi berdering."

                                                     
Ya ampun, Yusuf mengeluh dalam hati, tidak menduga bahwa anak dari mendiang Amar Zamzani, tidak pernah mempunyai ponsel dalam hidupnya.

Perlahan, Yusuf pun mulai mengajarkan kepada istri belianya itu bagaimana cara menggunakan benda yang digilai banyak anak muda itu.

Meski cuma cara menelfon dan mengirim pesan saja demi mempersingkat waktu, Yusuf sudah merasa puas karena Salwa termasuk orang yang mudah untuk diajari. "Yang lainnya nanti saja di rumah." ucapnya kemudian.

Salwa mengangguk, memasukan ponsel mahal tersebut ke dalam tas yang tadi dibelikan suaminya di butik, sebelum mereka sampai ke tempat ini. Wanita itu sudah akan membuka pintu namun tertahan saat merasakan genggaman di pergelangan tangannnya. Kening Salwa mengernyit begitu benda berbentuk lingkaran dengan ukiran cantik tersebut tersemat di jari manisnya.

"Maaf, sewaktu menikah, saya tidak memberikan cincin sebagai mas kawin buat kamu." ujar Yusuf seraya menatap tepat ke mata Salwa yang bening. "Cincin ini juga sebagai pengingat bahwa kamu sudah ada yang memiliki. Jangan dilepas supaya saya tenang dan tidak lagi takut istri saya akan direbut lelaki lain. Bisa 'kan, Sal, kamu nurutin maunya saya? Saya takut terkhianati lagi soalnya." pinta Yusuf yang merasa malu saat menyadari jika ia baru saja bersikap posessif atas istrinya itu.

Namun tanggapan Salwa justru adalah anggukan patuh. "Iya, pak, cincinnya nggak akan saya lepas."

Yusuf menghembuskan napas lega. Tidak tahu mengapa, jawaban Salwa menangkan debaran jantungnya yang menggila.

"Ya sudah, ayo masuk ke dalam sana." ajak Yusuf setelah hatinya merasa lega.

"Bapak juga ikut masuk?"

"Tentu saja, sekalian ada yang mau saya omongkan sama pengajarnya." jawab Yusuf penuh misteri.

Dan yang terjadi kemudian adalah, beberapa pengajar di tempat kursus menjahit tersebut cuma bisa melongok saat Yusuf tidak memperkenalkan Salwa sebagai anak melainkan istrinya.

                                                        
🍏🍏🍏

                                                        

Mina melangkah tergesa-gesa saat mendengar suara bel yang ditekan berulang kali. Wanita paruh baya bertubuh bongsor itu seakan kehabisan napas setelah melihat siapa tamu yang sudah mengganggu kesenangannya menonton drama di televisi.

Takdir Cinta [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now