Bagian 8

4K 164 22
                                    

Hari ini mereka berangkat ke Bali. Sepanjang perjalanan, Arga hanya diam saja. Arbilla sebentar-sebentar melirik ke arah Arga yang hanya diam saja. Mereka pun sampai di rumah mereka. Rumah yang dulunya di tempati Arga dan Arbilla ketika pergi meninggalkan Braga.

Arga langsung masuk sambil membawa kopernya dan juga koper Aninta. Arga masuk ke dalam kamarnya yang dulu di tempati. Ruangan itu tidak pernah berubah sedikit pun. Foto-foto Braga masih terpajang di kamar itu. Braga membongkar isi tasnya dan memasukkan pakaiannya kedalam lemari.

Aninta masuk dan melemparkan tas kecilnya ke atas kursi. Dia langsung merbahkan dirinya di atas kasur.

"Kenapa kamu mau liburan ke bali ga?"

"Disini kenangan terakhir Arga sama Mama. Arga berharap dengan kesini mama bisa ingat. Walau Arga sendiri gak yakin, karena lupa ingatan yang mama derita, akibat penyakit kanker otak, bukan karena kecelakaan."

Arga kemudian memindahkan isi koper Aninta ke dalam lemari. Alat make up tentu saja di letakkan di atas meja belajar Arga. Kalau ditanya, apa gak malu pegang-pegang milik perempuan. Arga sudah biasa melakukannya. Aninta pun tidak keberatan, karena dia bilang itu buat Arga belajar. Supaya nanti kalo udah punya istri gak akan bingung atau pun malu lihat barang-barang pribadi istrinya. Dan biar Arga matanya gak jelalatan. Sampai dia nyakitin perempuan karena matanya yang jelalatan berarti dia sama aja nyakitin kakak dan mamanya.

Terdengar aneh, tapi Arga menuruti saja apa mau Aninta. Karena kebahagiaan Aninta adalah bahagia mamanya.

Arga menghembuskan nafasnya, ada rasa sesak ketika mengingat permintaan mamanya untuk menjaga Papa dan kakaknya. Dia sudah menuruti permintaan mamanya. Terus, apalagi yang kurang? Apa semua yang udah dia lakukan semuanya itu masih kurang?? Pertanyaan itu selalu muncul, dan semua itu gak ada jawabannya. Mamanya kehilangan ingatannya, jadi dia tidak bisa mendapatkan jawaban atas pertanyaannya.

Selesai dengan kopernya, Arga membuka kemejanya dan celana panjangnya yang kini haya tinggal celana boxer dan juga kaosnya saja.

"Tidur yang bener mbak." Ucap Arga sambil mendekat kearah Aninta yang tidur dengam kaki menjuntai kebawah.

Aninta naik keatas sambil mencopot sepatunya dan melemparkannya asal. Dia juga mencopot kaos kakinya dan melempar asal hingga satu kaos kakinya terkena wajah Arga.

"Mbak!" Seru Arga kesal.

"Sorry, sorry."

"Kalo mbak rusuh mbak mending tidur sama Arika atau mama deh."

"Iish kamu ini, gitu aja marah."

"Gimana gak marah, asal aja geh mbak nya." Ucap Arga yang merebahkan dirinya di samping Aninta. Arga menutup matanya dengan satu lengannya.

"Ga."

"Hmmm..."

"Mau sampai kapan kamu nyuekin Mama ga?"

"Mama siapa mbak?"

"Ga!" Seru Aninta.

"Mbak sendiri kapan bisa terima mama Nenti. Apa salahnya coba Mama Nenti menikah dengan Papa Bragas? Dulu sebelum Mama Nenti menikah dengan Papa Bragas, mbak biasa-biasa aja. Mbak sayang sama Mama Nenti. Lagian kalo bukan karena om Danu meninggal Mama Nenti gak akan menikah dengan Papa Bragas. Mbak seharusnya bersyukur, kalo bukan karena om Danu mungkin sekarang Papa Bragas gak akan ada di dunia ini lagi."

"Mungkin itu lebih baik."

"Mbak!" Seru Arga yang langsung terduduk.

"Mbak ngomong apa sih!" Seru Arga.

"Seharusnya mbak bersyukur, karena mbak masih di kasih waktu untuk ketemu sama Papa Bragas."

"Apa yang harus di syukurin ga? Mau ada atau enggak, sama sekali gak ada bedanya. Papa mbak, gak akan pernah kasih perhatian ke mbak."

"Seharusnya kamu yang bersyukur ga, karena Mama Arbilla masih hidup. Walau mama Arbilla harus kehilangan ingatannya. Kamu yang seharusnya berbaikan sama mama Arbilla. Mama Arbilla sangat menyayangi kamu ga. Hanya saja kehilangan ingatannya, yang buat mama melupakan kita. Sebagai keluarga seharusnya kita bisa lebih mengerti, dan membuat mama Arbilla nyaman disini. Jangan buat mama Arbilla gak nyaman dan pergi ninggalin kita lagi." Lanjut Aninta mencoba menasehati.

"Udah ah mbak, gak usah di bahas lagi."

"Mbak gak nyaman lihat sikap kamu seperti itu sama mama. Berhenti jadi egois ga. Arga yang mbak tau itu bukan orang yang egois. Dia bisa berpikir dengan logis."

"Arga capek mbak. Arga capek!" Serunya kesal.

"Arga capek dengan semuanya. Arga juga ingin kaya anak-anak lainnya yang bisa menikmati waktu bemainnya. Tapi apa, di umur Arga yang Ke -14 ini Arga udah naik ke kelas 3 SMA. Semua teman-teman Arga cuma bertemaan kaya angin lewat aja."

"Gak ada yang minta kamu untuk mempercepat sekolah kamu ga. Gak ada yang ngekang kamu untuk bemain juga ga."

"Emang gak ada yang nyuruh aku buat mempercepat sekolah ku. Gak ada yang ngekang aku buat main juga . Tapi permintaan mama untuk jaga mbak dan papa yang buat aku seperti ini. Mungkin mbak akan bilang, "walau mama minta kamu buat jaga mbak dan papa bukan berarti kamu harus melakukan semuaanya" . Kalau mbak bilang gitu, sekarang aku tanya sama mbak. Mbak punya cara lain, selain cara yang aku pakai?"

"Pasti ada cara lain. Lagian untuk apa kamu jaga mbak dan Papa. Kita gak perlu kamu jaga."

"Apa yang gak perlu dijaga? Jelas ada, papa sama mbak, sama-sama bersedih karena mama pergi meninggalkan kita. Mbak yang sering menangis dan mengurung diri setelah pulang sekolah. Papa yang selalu kuat di depan kita tapi di belakang kita papa selalu menangis. Bahkan papa menjadi pemimpin yag dingin di perusahaan. Gimana aku bisa gak jaga kalian. Kalau kalian sendiri seperti itu. Dengan aku sekolah di tempat dan kelas yang sama, aku bisa jagain mbak dari mulut-mulut nyinyir itu, dan aku juga bisa jagain mbak dari cowok-cowok yang gangguin mbak. Selain itu, aku juga bisa cepat selesai sekolah, kuliah dan cepet bisa bantuin papa ngurus perusahaan."

Arga menghirup nafasnya, kemudian menghembuskannya secara kasar.

"Saat mama kembali, ada rasa bahagia, dan rasanya beban di pundak aku pun jadi lebih ringan. Tapi apa, orang yang aku tunggu-tunggu ke pulangannya, malah melupakan aku. Aku tau mama hilang ingatan, tapi aku butuh perhatian, dan kekuatan dari mama. Aku butuh pelukan mama. Tapi dengan mudahnya mama bilang ingin bersama Arika di Itali. Apakah anak laki-laki seperti aku ini yang berumur 14 tahun gak berhak dapet perhatian dari mamanya sendiri?"

"Aku juga sama seperti mbak, aku juga perlu perhatian dan kasih sayang dari orang tua mbak.... Andai aku bisa marah. Aku juga ingin marah dengan Papa. Karena papa lebih perhatian sama mbak dari pada aku. Tapi aku tau, mungkin papa ngelakuin ini, karena papa yakin. Aku anak laki-laki yang kuat. Ya... Itu yang semua orang fikirkan tentang aku. Tapi berbeda dengan mereka yang tau, tentang siapa aku yang sebenarnya. "

"Anak laki-laki umur 14 tahun yang membutuhkan sebuah sandaran dan dekapan hangat dari orang tuanya."

Bersambung...

Part datar lagi ya guys...  Tapi semoga masih mau baca.

Happy Reading....

Sexy Lecture My MotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang