DAMIRN 6

11.2K 1.1K 86
                                    

Damirn duduk tepat di hadapan Ronald yang keadaannya sekarang terlihat begitu menyedihkan. Seluruh tubuh laki-laki itu di basahi darah. Tubuhnya terikat di sebuah kursi kayu kamarnya.

Damirn menatap lekat wajah Ronald yang ikut menatapnya dengan tatapan redup.

"Akan ku hitung sampai tiga Ronald." Ucap Damirn tanpa ekspresi sama sekali.

"Satu ...."

Pandangan Damirn terus saja terfokus pada wajah Ronald, laki-laki itu sudah tidak punya harapan hidup. Meski kalau dia memberitahu Damirn di mana letak Yehana sekalipun, ia yakin kalau Damirn tetap akan membunuhnya.

"Dua ...."

Damirn menjangkau kapak merah yang tergeletak di samping kakinya. ia berdiri, menghampiri sosok Ronald yang sama sekali tidak bicara. Damirn menaruh telapak sepatunya di pundak kursi tempat Ronald terikat, siap untuk menerjang kursi tersebut agar jatuh ke lantai.

"Tiga!"

Brakk!

Tubuh Ronald terhempas ke lantai bersamaan dengan jatuhnya kursi yang baru saja di tendang Damirn. Dengan langkah berat Damirn menghampiri Ronald, mengangkat kapak yang ia pegang. Merincikan ayunan kapak itu di pergelangan leher Ronald. Ronald masih terus terdiam, seolah ia tidak takut lagi dengan namanya kematian.

Craaaaakkkkk!

Tubuh Ronald menggelepar seketika saat kepala miliknya terputus. darah segar yang keluar dari penggalan lehernya itu terus mengalir bak genangan air. Damirn terdiam, matanya terus menatap tubuh Ronald yang masih terlihat bergetar.

♥♥♥

Jakson dan Yehana berada di tepian pantai yang ombaknya begitu tenang. Tempat ini, adalah tempat yang paling di sukai Damirn 18 belas tahun yang lalu.

"Apa kau menyukai tempat ini, Yehana?" Tanya Jakson.

Yehana tersenyum senang, ia menoleh Jakson yang berdiri di sampingnya. "Ya, udara di sini sejuk, ombaknya juga tidak berisik. Wajar kalau Damirn menyukai tempat ini." Jawab Yehana.

Jakson tersenyum tipis, "Dulu, aku dan Damirn sering ke tempat ini. Tapi, setelah orang tua kami bercerai, kami berpisah. Dia ikut ayahku ke Cali. Sedangkan aku dan ibuku, menetap di Ina." Jakson menarik nafas dalam.

"Kau tau... dulu Damirn, selalu tersenyum bahagia saat aku membuatkannya sebuah Istana pasir." ucap Jakson lagi.

Yehana terdiam, ia terus menatap Jakson dengan raut wajah iba. "Setiap kali aku merindukan Damirn, aku selalu ke tempat ini. Untuk mengenang masalalu kami." Jakson merogoh saku jas dokternya, mengeluarkan beberapa lembar foto ukuran dompet dari sana.

"Tapi begitulah kehidupan. Kita tidak tau apa yang akan terjadi di masa depan, kini Damirn sudah menjadi orang yang sangat berbahaya." Jakson mengulurkan foto-foto itu ke hadapan Yehana.

"Apa ini, dokter?" tanya Yehana seraya mengambil foto itu dari tangan Jakson.

"Foto Damirn tujuh tahun yang lalu. Saat dia di tahan di Alcatraz, San Fransisco. Kau tau tempat itu?"

Yehana menggeleng, ia melihat satu persatu foto yang di berikan Jakson padanya.

"Tidak dokter... Damirn, dia tidak berbahaya... dia orang baik."

Yehana mengembalikan foto-foto yang di berikan Jakson padanya. Ia tidak percaya akan kata-kata Jakson barusan.

"Kau belum tahu saja Yehana. Karena kau baru mengenalnya beberapa hari yang lalu, sedangkan aku? Kami sudah tumbuh besar bersama selama lebih dari sepuluh tahun. Menurutmu, sebagai seorang kakak apa aku tidak bisa mengenal adikku sendiri?"

DAMIRN ✔ (END)Where stories live. Discover now