56

16.6K 1K 5
                                    

Dua hari Hera di Semarang, ia habiskan untuk bertemu dengan klien-kliennya. Dan hari ketiga ini, ia gunakan untuk berkunjung ke rumah Pakde Yunus, adik dari neneknya. Tentu saja Hera tidak terkejut saat mendapati sebagian sesepuh keluarganya ada di sana juga. Niatnya, Hera ingin menitipkan undangan pada Pakde Yunus. Jika sudah begini, jadilah ia membagikan undangannya secara resmi.

Hera menyalami Bude Tar, "Bude, ini undangannya. Datang, ya."

Sebenarnya, Hera tidak terlalu hapal dengan anggota keluarga besarnya. Ia hanya menyapa dengan sebutan Pakde dan Bude. Yang ia kenal dekat hanya keluarga Pakde Yunus.

Bude Tar bertanya dalam bahasa Jawa, "Calon bojomu iki wong ngendi? Bude krungu, sing duwe tv tempatmu kerja?"

Walaupun Hera besar di tanah Sunda, tetap ia lebih mahir menggunakan bahasa Jawa, "Nggih, Bude. Bian asli Yogya." jawab Hera.

"Ndi fotone? Bude pengin ndelok." pinta Bude Tar.

Hera mengeluarkan ponselnya. Bude-bude dan saudaranya yang lain sudah beringsut mendekati Hera ingin tahu.

"Iki, Bude." Hera menunjukkan foto Sabian saat lamaran kemarin.

"Ganteng, yo, Mbak." Mbok Surti, pembatu keluarga itu berkomentar dengan logat jawanya.

"Pantes. Hera-ne, kan, ayu." komentar Bulek Ratna.

"Mbok, diajak ke sini wong-e." Bude Tar angkat bicara.

"Hera ke sini aja mendadak, Bude. Bian juga lagi sibuk di kantor. Nanti bude-bude ketemu di nikahan aja." balas Hera.

"Lah, sampeyan, kan, bakal dadi penganten. Mbok, calon bojomu ono waktu neng kene. Ndak sopan." celetuk Bude Wati.

"Lagian, kenapa ndadak nikah-e." tambah Bude Wati.

Hera menghela napas maklum sambil tersenyum. Ia sudah siap mendapat berbagai macam judgement yang akan diterima. Sepupunya saja yang menikah saat masih kuliah, dikira macam-macam oleh bude-budenya ini.

Through The CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang