4. "Jangan terlalu benci."

4.1K 150 2
                                    

Dengan membawa segelas es susu coklat, Revan menghampiri Adit dan Kevin yang tampak ribut di depan PlayStation.

"Ributin apa, sih?" tanyanya setelah bergabung dengan mereka yang duduk selonjoran di lantai yang dilapisi karpet bulu.

"Nih, temen lo, nih. Daritadi mainnya curang mulu. Jadinya gue terus-terusan kalah." Adit mengadu pada Revan seraya menunjuk Kevin dengan dagunya, sedang matanya melirik Kevin sinis.

Seketika Kevin mendelik, tak terima dituduh seperti itu. "What? Curang? Eh, lo nya aja yang nggak bisa main makanya kalah mulu. Segala nuduh-nuduh gue."

"Curang mah ngaku aja."

"Gue udah ngaku kali."

"Ngaku apa?"

"Ngaku kalo gue ganteng."

"Lah? Nggak nyambung dodol." Adit mendengkus, makin merasa dongkol dengan Kevin yang sepertinya sengaja sekali membuatnya kesal.

"Suka-suka gue, lah. Orang mulut-mulut gue," balas Kevin tak mau kalah. Dia bahkan tak mempedulikan Adit yang tampak sejengkal lagi ingin menghajarnya.

Revan memutar bola matanya malas melihat kelakuan kedua temannya yang seperti anak kecil. Sebenarnya bukan sekali ini saja mereka meributkan hal yang sama sekali tidak penting, melainkan hampir tiap hari. Ia benar-benar heran dibuatnya. Namun yang lebih mengherankan adalah fakta bahwa dirinya betah berteman dengan mereka.

Sore ini sepulang sekolah, Adit dan Kevin tak langsung pulang ke rumah masing-masing. Melainkan main di rumahnya untuk bermain game. Revan sendiri tak keberatan dan justru merasa senang karena ada teman dan tidak merasa kesepian karena kedua orang tuanya sibuk bekerja.

Adit dan Kevin sudah berhenti bertengkar, juga menyudahi acara bermain game mereka. Dan kini keduanya asik memainkan ponsel masing-masing sembari merebahkan diri di karpet bulu milik Revan yang terasa sangat nyaman.

Untuk sejenak keheningan menyapa mereka. Kevin yang menonton video DEBM, Adit yang scroll tiktok, dan Revan yang melanjutkan menonton film Munich: The Edge War yang tayang di Netflix.

"Berantem sama Adit bikin gue laper. Lo laper nggak, Dit?" Kevin sudah melupakan kekesalannya dan berencana meminta makanan pada Revan karena merasakan cacing-cacing di perutnya berdemo meminta asupan.

"Gue juga laper, sih." Adit menanggapi Kevin tanpa mengalihkan wajahnya dari layar ponsel.

"Tuh, Rev, tamu lo pada kelaperan. Bikinin apa gitu kek. Lo jadi tuan rumah juga nggak berperikemanusiaan banget daritadi gue sama Adit nggak dikasih apa-apa. Lo enak-enakan minum es susu eh kita berdua cuma dikasih es teh."

Kepada Kevin yang mulai berdrama, Revan hanya mendengkus. Setiap main ke rumahnya, baik Adit maupun Kevin ia persilakan menjarah dapurnya yang memang komplit untuk membuat sesuatu yang mereka inginkan. Mulai dari membuat minuman sendiri, membuat mie instan, hingga membuat nasi goreng juga pernah mereka lakoni.

Bukannya apa-apa, dia hanya ingin kedua temannya menganggap rumah ini sebagai rumah mereka sendiri. Sebagai rasa terimakasihnya karena mereka mau berteman dengannya. Dan alasan lain adalah ia terlalu malas.

Masih tetap menatap layar ponsel, Revan menyahut. "Gaya lo kayak baru kali ini main ke sini. Bikin sendiri sana."

"Iya tapi, kan, gue pengen ngerasain dibikinin sama lo sekali-kali."

Impossible PossibilityWhere stories live. Discover now