3. Satu Kelompok

3.9K 144 0
                                    

"Nih, sesajen buat lo!"

Adit menghempaskan sebuah kantong plastik berukuran sedang yang di dalamnya berisi banyak jajan ke hadapan Dera dan Kara yang sedang asik mengobrol.

Saat ini sedang jam kosong, Dera dan Kara memilih mengisi waktu luang tersebut dengan duduk selonjoran di lantai di ujung belakang sembari menggosip ria. Mengabaikan suasana kelas yang tampak seperti kapal pecah. Ada yang menyetel musik dengan suara keras-keras, para murid laki-laki yang sedang bermain game dengan hebohnya, para gerombolan cewek-cewek yang sedang heboh melakukan dance challenge di tiktok, dan masih banyak lagi aktivitas heboh lainnya.

Dera menghentikan obrolannya dengan Kara, dan menatap plastik yang Adit bawa dengan mata berbinar-binar. "Nah, gitu dong daritadi."

"Gaya lo pake ngambek-ngambek segala. Bilang aja lo minta dijajanin." Sambil bersedekap dada, Adit mencibir pada Dera tampak sengaja sekali menguras uangnya.

Atas cibiran tersebut, raut wajah Dera yang semula bahagia seketika berubah. Dia menatap Adit dengan sengit. "Salah sendiri lo nelantarin gue kemaren. Masih mending lo nggak gue aduin ke mama sama ke Tante Linda."

"Eh hehehe iya iya, maafin gue. Udah lo jangan marah-marah lagi. Kan udah gue kasih jajan." Mendengar nama mamanya disebut-sebut, seketika Adit menjadi panik dan melupakan kekesalannya atau Dera akan betulan mengadu.

Yang benar saja? Bisa-bisa dia dimarahi karena membiarkan Dera kebingungan seperti orang hilang kemarin karena memilih bermain futsal bersama Kevin dan teman-temannya yang lain.

Sebenarnya ia bukan sengaja menelantarkan sepupunya itu, sih, tapi acara bermain futsal itu sudah dijadwalkan dari kemarin-kemarin dan tidak mungkin ia batal ikut begitu saja. Ya walaupun dirinya bisa saja izin, tapi, kan, ia ingin bermain futsal.

Giliran Dera yang bersedekap dada, puas melihat reaksi Adit yang tampak ketakutan. Sebenarnya itu hanya sebagai gertakan saja, sih. Mana mungkin dirinya mengadukan hal sepele seperti itu?

Namun karena memang betulan kesal, ia sengaja meminta Adit membelikannya jajan agar ia tak mengadu juga agar ia memaafkan sepupunya itu. Biar Adit tahu rasa dan ke depannya tidak akan mengulanginya lagi.

"Makanya, nggak usah macem-macem lo sama gue." Dera mencebik, lalu setelahnya ia membuka plastik yang Adit bawa. Matanya kembali berbinar-binar. Dia pun menoleh pada Kara. "Anjayyyy, banyak banget jajannya. Ayok sikat, Kar."

"Ih, gue mauuuu." Kara yang sedari tadi diam melihat interaksi antara Dera dan Adit, seketika tersenyum cerah. Siapa yang tak senang melihat jajan sebanyak itu?

"Eh, Kare Ayam, ngapain lo ngeliatin gue daritadi? Naksir lo sama gue?"

Kepada Adit yang kelewat percaya diri juga memanggil namanya semena-mena, Kara melemparkan tatapan sinis.

"Nama gue Kara, Panjul! Gue sleding juga lo! Dan apa tadi? Naksir? Sori, selera gue tinggi."

"Halah, lo jujur aja, Kar. Orang daritadi lo ngeliatin gue." Adit mengacungkan jari telunjuknya tepat di hadapan Kara agar gadis itu mengaku. Bukannya apa-apa, sedari tadi wakil ketua kelas yang selama ini tidak begitu akrab dengannya itu terlihat jelas memandanginya secara intens. Siapa tahu, kan, jika ternyata diam-diam Kara menaruh rasa padanya?

Kara mengerenyitkan kening, merasa gagal paham dengan ucapan Adit. "Apaan, sih, lo? Ya iyalah gue ngelatin orang gue punya mata. Tapi bukan berarti gue naksir sama lo, dodol."

Impossible PossibilityWhere stories live. Discover now