8. Hoodie Abu-Abu

2.7K 104 0
                                    

Lima menit perjalanan hanya diisi keheningan. Baik Dera maupun Revan memilih untuk saling diam. Selain karena nanti ujung-ujungnya jadi ribut, mereka juga tidak seakur itu untuk berbincang-bincang. Selama kenal beberapa hari, interaksi mereka juga selalu saja diwarnai adu mulut.

Petir semakin terdengar menggelegar seiring berjalannya waktu. Angin pun berhemhus dengan kencang dan langit terlihat semakin pekat. Seolah-olah menjadi pertanda jika sebentar lagi hujan akan benar-benar turun.

Meski saling diam, baik Dera maupun Revan sama-sama berharap agar hujan tak turun sekarang atau mereka akan terjebak bersama lebih lama. Itu bukan hal yang menyenangkan bukan?

Namun sayang langit tak mendengar harapan mereka. Rintik-rintik hujan perlahan turun dan semakin deras. Membuat Revan terpaksa membelokkan motornya ke sebuah minimarket untuk berteduh. Ia sebenarnya membawa jas hujan, tapi tidak mungkin dia membiarkan Dera kehujanan, kan?

"Kita neduh dulu," ucapnya pada Dera setelah memarkirkan motor di depan minimarket yang kebetulan sepi pengunjung.

Dera mengangguk tanpa berkata apa-apa meski sebenarnya ia ingin langsung pulang. Tidak masalah baginya jika harus hujan-hujanan. Tapi tidak mungkin ia memaksa Revan yang sudah berbaik hati mau mengantarnya pulang untuk menerobos hujan disaat cowok itu ingin meneduh, kan?

Setelah turun dari motor, Dera lantas duduk di salah satu kursi yang disediakan di depan minimarket. Sementara Revan sendiri sedang melepas helm lalu merapikan rambutnya dengan berkaca melalui kaca spion.

Dera menatap ke depan di mana air hujan yang deras membasahi bumi dengan hati yang gondok luar biasa. Apa, sih, ini? Mengapa takdir terus-terusan membuatnya berurusan dengan Revan? Mengapa????

Saat sedang sibuk menggerutu dalam hati, ia melirik ke samping di mana Revan ikut duduk di kursi yang berada di sampingnya. Cowok itu juga tetap diam seribu kata. Seolah jika mereka buka suara maka akan tercipta perdebatan yang tidak ada habisnya.

Seperti ketika di motor tadi, baik Dera maupun Revan tak ada yang buka suara dan sibuk dengan urusan masing-masing. Revan yang asik memainkan ponsel sambil meminum kopinya sementara Dera asik melamun.

Di tengah-tengah acara melamunnya, Dera melirik Revan yang sedang fokus pada ponsel, lalu berdecih. Mengapa ia harus terjebak hujan dengan cowok menyebalkan ini? Bukan dengan pangeran tampan seperti yang diharapkannya?

Bukan pangeran tampan. Sebenernya lo cuma pengen Bima yang dateng.

Atas pemikiran itu, Dera tersenyum miris. Benar. Dirinya yang selalu berhalu ingin bertemu dengan cowok tampan sebenarnya hanya ingin bertemu dengan Bima. Bima yang tampan, ramah, murah senyum, dan baik hati.

Andai saja jika saat ini ia terjebak dengan Bima, pasti semua akan jadi menyenangkan. Sambil bersama-sama menatap hujan, mereka akan mengobrol banyak hal sambil sesekali tertawa karena Bima melontarkan lelucon yang menggelikan.

Lalu setelahnya Bima akan memberinya jaket karena tak mau melihatnya kedinginan. Dera menghela napas, mendadak merindukan cowok itu. Kira-kira, sedang apa Bima sekarang?

Angin yang berhembus membelai kulitnya membuat Dera bergidik. Ia merasa kedinginan karena hanya memakai kaos lengan pendek dan tidak membawa jaket. Tanpa sadar ia melirik Revan yang mengenakan hoodie berwarna hitam dengan tulisan life goes on di dada.

Dan sebersit pikirannya yang membayangkan jika Revan akan melepas hoodie itu lalu memberikan benda tersebut padanya membuat Dera bergidik ngeri. Tidak mungkin Revan sebaik itu untuk memberinya hoodie yang cowok itu pakai dan membiarkan dirinya sendiri kedinginan. Lagipula, jika hal itu terjadi, Dera juga tidak mau menerimanya.

Impossible Possibilityजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें