28. Tips Memainkan Emosi Pembaca

Start from the beginning
                                    

Kamu bisa kreasikan sendiri pertanyaannya sesuai cerita.

.

4. Datangi lokasi yang menjadi setting cerita

Siapa yang belum baca Aroma Karsa? Saya sebagai salah satu dari puluhan ribu pembacanya merasakan bagaimana teraduk-aduknya emosi ini. Dee Lestari berhasil mengejutkan saya dan mungkin pembaca lain waktu menulis kehidupan Jati Wesi di Bantar Gebang. Gosh, saya beneran mual dan semua kebusukan tempat sampah itu terbayang dalam benak. Kenapa bisa gitu? Karena Dee beneran mengunjungi Bantar Gebang. Totalitas banget ya. 

JK. Rowling bisa menulis tentang peron 9 3/4 dan kereta api karena pernah ke stasiun dan naik kereta api. Makanya banyak pembaca tertipu dan percaya bahwa peron 9 3/4 beneran ada, malah mencoba menabrak dindingnya. 

Sedikit promo ya, novel Devils Inside saya pun bisa mengaduk emosi pembaca karena saya beneran pernah ke Lembaga Pemasyarakatan, pengadilan, pasar Jatinegara, Monas, dan lokasi-lokasi lain. 

Kenapa mengunjungi lokasi penting banget? Penulis yang pernah mengunjungi lokasi cerita bisa memindahkan emosi yang dia rasakan ketika berada di sana ke dalam tulisan mereka. Alhasil, pembaca pun tersentuh. Apa yang ditulis dengan hati akan sampai ke hati. 

Sekarang bayangkan kamu pengen menulis soal hantu di Taman Prasasti tapi kamu nggak pernah ke sana. Mungkin kamu bisa memasukkan emosi ketakutan, tapi hasilnya kurang maksimal. 

5. Perkuat karakter

Waktu saya membaca Eliana karya Tere Liye, rasanya nyesek banget waktu Marhotap kena musibah. Padahal bisa dibilang Marhotap ini musuhnya Eliana.

Begitu pun waktu Severus Snape mati. Dia emang digambarkan rambutnya lepek, sinis mulu sama Harry, ngasih hukuman, dan antagonis. J.K. Rowling berhasil menggambarkan Snape dengan kuat dan detail sampai-sampai pas tokoh itu mati, saya jadi galau berminggu-minggu. 

Siapa pun tokoh dalam ceritamu, perkuatlah karakternya. Jangan cuma bilang dia jahat atau galak atau cerewet, tapi tunjukkan dengan sikap, perkataan, perbuatan, dan ekspresi wajah. Maka, apa pun yang tokohmu lakukan bakal membuat emosi pembaca teraduk-aduk. 

6. Diksi adalah koentji

Bayu meniup helai surai hitam dara itu bagaikan mengajaknya menari.

Jujur aku pusing baca kalimat begitu karena bukan seniman atau sastrawan yang hafal isi KBBI 😅. Tere Liye pernah bilang bahwa sebagai penulis kita harus bisa bercerita dengan bahasa sederhana. Kalimat yang terlalu indah bikin dahi berkerut. Niat kita mau menyampaikan pesan dan emosi ke pembaca pun jadi nggak sampai karena pembaca keburu pusing duluan.

Untuk kalimat di atas, aku lebih suka pakai diksi: 

Angin membelai lembut rambut hitam gadis itu.

Santai kan bacanya. Ini buat bahasa novel ya, kalau bahasa puisi mah terserah mau pakai bahasa Kawi kuno pun. 

Masih soal diksi, untuk memberikan feel atau emosi ke dalam tulisanmu, bedakan kapan menggunakan kata yang maknanya mirip. 

Contoh:

- Victoria menyesap teh hangat untuk menghalau dingin.

- Inez meneguk air mineral dari botol setelah berolahraga. 

Feel-nya beda kan ketika kamu pakai kata menyesap dan meneguk. 

Terus, perhatikan juga variasi kalimat, contoh:

1. Hatiku hancur ketika melihat lelaki yang kucintai bergandengan tangan dengan sahabat baikku. 

2. Masih adakah panah beracun yang mampu membunuh seketika begitu menancap di jantung? Kalau ada, tusuk jantungku, lubangi sekalian. Melihat lelaki yang kucintai bergandengan dengan sahabat baikku sama saja mengiris dada dengan pisau tumpul sedangkan aku ingin mati sekarang juga.

Aku lebih suka diksi kalimat kedua. Kalimat pertama sudah sering kita baca. Makanya kurang ngefek kalau dipakai. 

.

7. Showing

Showing not telling. Kalian pasti bosan mendengar atau membaca tips ini. Untuk memberikan feel ke tulisan dan mempermainkan emosi pembaca, cara yang ampuh memang showing. Mau bukti?

1. Ayahku yang pekerjaannya menggiling kopi arabika telah meninggal akibat tertimpa bangunan. (Telling) 

2. Masih jelas teringat tangan kekar Ayah yang kucium pagi ini. Kulitnya kecokelatan terpanggang matahari. Aroma kopi arabika menguar dari pori-pori tubuhnya mengingat pekerjaan Ayah adalah penggiling biji kopi. Beliau berpesan agar aku belajar yang rajin demi memperbaiki nasib. Dua hari kemudian, Ayah bersama segala nasihatnya meninggalkan kami. Laki-laki yang pergi menunggangi motor Honda pulang dalam kantung jenazah. Gempa merubuhkan pabrik penggilingan kopinya, menggempur, dan menghimpit tubuh Ayah. Ada jejak darah kering di sudut bibirnya. Matanya terpejam menahan sakit. Aku menunduk berniat mencium Ayah. Namun, bukan aroma kopi arabika lagi yang kudapati, melainkan putresin hasil pembusukan jenazah. (Showing) 

Apakah telling perlu dalam menulis fiksi? Menurut Rosi L. Simamora, showing dan telling sama-sama perlu. Penulisnya harus tahu menempatkan penggunaan yang tepat.

Buat saya sendiri, showing lebih mampu membangkitkan emosi pembaca  

.

8. Ceritakan pengalaman sendiri

 Males riset, males buat penokohan, mager pergi ke lokasi tapi pengen tetep membuat novel yang mengaduk-aduk emosi pembaca? Ceritakan saja pengalamanmu sendiri. Siapa tahu seru kan? 

Bagusnya menulis pengalaman sendiri adalah kalian bisa menghayati setiap kalimat. Novel kalian lebih bernyawa karena tokoh dan tempatnya nyata. Bahkan kalimat-kalimat dalam novel itu pun bisa nyata kan.

.

9. Overdosis itu berbahaya, Sergio

Ini tips terakhir dariku untuk mempermainkan emosi pembaca yaitu: JANGAN OVERDOSIS! Kamu pengen nulis novel yang sedih dari chapter satu sampe chapter akhir? Jangan deh, jangan. Variasikan emosi yang mau kamu tonjolkan. Misalnya chapter 1 kamu bikin pembaca terkejut, terus chapter 2 kamu bikin pembaca jatuh cinta sama tokohmu, chapter 3 bikin pembaca sedih. Pokoknya jangan buat emosi yang sama terus karena pembaca bakal bosan.

Selamat menulis karya. Jangan putus asa kalau merasa tulisanmu masih jelek. Coba lagi dan lagi.   

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 20, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Serba-serbi KepenulisanWhere stories live. Discover now