23. Sastra Wangi vs Cerita Stensil

446 17 1
                                    

Oleh: DenisaTomaselli

Apa itu sastra wangi?

Pernah dengar istilah sastra wangi? Istilah tersebut mulai melejit di dunia kesusastraan Indonesia sejak terbitnya novel "Saman" karya Ayu Utami tahun 1998. Sastra wangi adalah karya sastra yang mengusung tema seksualitas dan sarana untuk menyampaikan ideologi dan gagasan-gagasan feminis. Jadi, ada dua kata kunci dalam istilah sastra wangi, yaitu seksualitas dan feminis. Banyak pihak yang selama ini menganggap seks sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan, apalagi ditulis dalam sebuah buku yang niscaya akan dibaca dan mempengaruhi orang banyak. Karya-karya sastra wangi dengan jelas mendobrak pandangan umum ini. Dengan bebas, terbuka, ekspresif, tapi tetap bertanggung jawab, para penulis sastra wangi melakukan inovasi dengan menggunakan unsur seksualitas dalam karya sastra untuk menyuarakan moralitas, kritik sosial, dan pemberontakan.

Apa saja ciri-ciri sastra wangi?

Tentu saja, sastra wangi bersifat bebas, terbuka, dan sangat ekspresif. Bagi penulis tidak ada batasan-batasan bernama moral dan adat. Bahasa dalam sastra wangi pun cenderung sangat vulgar, bahkan penulis seringkali menyebutkan nama-nama alat kelamin.

Sastra wangi mengandung unsur seksualitas baik dari segi psikologis maupun sosiologis yang vulgar, frontal, dan telanjang, maksudnya tidak mengenal ketabuan dan kerahasiaan.

Karakter yang diciptakan penulis sastra wangi cenderung kuat dan berjiwa pemberontak, mendominasi pemberontakan kaum perempuan dari budaya patriarki dan adat yang membelenggunya. Sebagai contoh, novel-novel Ayu Utami selalu mengusung tokoh  perempuan-perempuan yang mendobrak pola pikir kaku mengenai seksualitas, perkawinan, dan budaya patriarki. Salah satu novel yang juga mendobrak moralitas kaku tentang ketiga hal ini adalah "Perempuan di Titik Nol" karya Nawal El-Sadaawi.

Penulis sastra wangi umumnya mengangkat ajaran moral yang tidak sesuai dengan ajaran moral dan adat yang mengakar di masyarakat. Contohnya, sampai saat ini masyarakat Indonesia masih menganut pola pikir bahwa istri harus melayani suami sepenuh hati dan menuruti tiap patah kata suami, juga pola pikir bahwa gadis yang kehilangan perawan sebelum menikah adalah perempuan yang tidak suci dan tidak berharga. Para penulis sastra wangi mencoba bereksperimen dengan menciptakan nilai-nilai moral sendiri yang menyimpang dari nilai-nilai moral kaku yang mengakar di masyarakat. Nilai-nilai moral dan adat yang jelas sekali tidak adil bagi kaum hawa. Ayu Utami dalam otobiografinya, Pengakuan Eks Parasit Lajang (KPG, 2013), dengan jelas menyatakan bahwa ia telah membangun sistem nilai sendiri yang dirasa lebih adil dan baik daripada sistem nilai yang beredar di masyarakat.

Permasalahan sosial yang sering diangkat dalam karya-karya sastra wangi adalah persoalan perempuan, contohnya emansipasi wanita, kesetaraan gender, pembebasan kaum hawa dari tuntutan-tuntutan moral, serta penghancuran budaya patriarki (budaya di mana laki-laki lebih dominan dan menjadikan perempuan sebagai objek) dan lain-lain.


Apakah karya sastra wangi adalah cerita porno?

Seperti disebutkan di atas, bahwa terdapat dua kata kunci dalam mendefinisikan sastra wangi, yaitu seksualitas dan feminisme. Yang menjadi ciri utama sastra wangi selain kelima ciri diatas adalah: wanita sebagai pengarangnya dan seks sebagai isi dari cerita. Sastra wangi memang karya sastra yang memaparkan persetubuhan, LGBT dan acapkali penyimpangan-penyimpangan seksual dengan kata-kata vulgar yang sudah pasti menanggung segala hujat dan sumpah serapah dari orang-orang awam yang tidak paham. Menurut Meidy Lukito, kata-kata vulgar merupakan pelecehan terhadap karya sastra (Loekito, 2003: 130).

Tapi rupanya Indah Lestari membantah pernyataan Meidy Lukito ini. Ia menegaskan bahwa perempuan memiliki hak menulis tentang seksualitas dirinya sendiri, dan apabila itu dilarang, sama saja dengan menyensor napas dan ujaran secara bersamaan (Lestari, 2003: 8)

Sebagaimana dipublikasikan dalam jurnalperempuan.org pada tanggal 8 Februari 2016, Djenar Maesa Ayu, salah satu maestro sastra wangi kita, memaparkan bahwa banyak kejujuran yang ingin ia sampaikan dalam setiap tulisannya yang "vulgar dan jorok". Ia ingin berteriak bahwa perempuan punya banyak persoalan atas pengalaman seksualitasnya. Persoalan itu muncul karena masalah seksualitas perempuan begitu ditutup-tutupi dengan moralitas. Baginya, hal ini justru merugikan perempuan, karena perempuan tidak dibiarkan memiliki kesadaran tentang tubuh dan keberadaan seksualitasnya. Sebagian besar orang tak sadar bahwa pelecahan seksual, perkosaan, dan kekerasan terjadi karena perempuan dibentuk untuk takut pada seksualitasnya sendiri sehingga mereka tidak dapat membedakan mana yang pelecehan, perkosaan, kekerasan, dan mana yang tidak. Contohnya, ada seorang anak yang bersedia disetubuhi hanya karena diiming-imingi permen. Ini terjadi karena ketidaktahuan anak, karena seksualitas yang ditutup-tutupi karena dianggap tabu.

Tentu kita bisa melihat banyak perbedaan mendasar antara sastra wangi dengan cerita porno. Berikut ini adalah cara menilai cabul atau tidaknya suatu  karya sastra, dilansir dari tulisan karya Iim Sobandi, M. Pd yang ditulisnya di kompasiana.com:

Tidak terburu-buru menyimpulkan dan menilai suatu karya sastra tanpa mengetahui motif dan kedudukan penulisnya.

Sastra seks atau sastra wangi tidak melanggar nilai-nilai kesusilaan bila didukung oleh suatu ide yang baik, disiapkan matang, dan dapat memberikan sesuatu untuk kehidupan.

Cerita porno pada umumnya hanya berisi adegan-adegan seksual dari awal hingga akhir cerita, tanpa plot atau jalan cerita yang berarti.

Kesimpulannya, unsur seksualitas dalam karya sastra tidak dapat dikategorikan sebagai ponografi. Sebuah karya sastra tetap mengutamakan gagasan dan nilai-nilai yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca, dan itulah yang menjadikan karya sastra berbobot. Nafsu berahi itu adalah hal yang sah dimiliki manusia. Yang kita butuhkan sikap wajar, mengembalikan seksualitas dalam kehidupan, menerima tanpa ketegangan, sebagaimana kita menerima tubuh kita sendiri. (Goenawan, 1980: 60).

Sejauh ini saya melihat karya-karya sastra wangi atau sastra feminisme adalah bentuk perjuangan kaum wanita dalam memperjuangkan kesetaraan gender dan merebut kembali hak-haknya. Karya-karya yang diciptakan dengan tujuan yang sangat mulia tersebut sangat tidak pantas disamakan dengan cerita-cerita stensilan dan tidak pantas menanggung laknat. Sebagai pembaca, ada baiknya kita tiada mempermasalahkan kevulgaran dan kejorokan dalam karya sastra wangi, apalagi membawa-bawa nilai-nilai moral dan kesusilaan untuk membatasi kebebasan penulis dalam mengungkapkan gagasannya. Toh para penulis sastra wangi punya alasan tersendiri dalam memasukkan unsur-unsur seksualitas dalam karya mereka, seperti alasan Djenar Maesa Ayu yang telah diungkapkan di atas.


Daftar pustaka:

Goenawan, Mohammad. 1980. Seks, Sastra, Kita. Jakarta: Sinar Harapan

Loekito, Medy. 2003, Perempuan & Sastra, Seksual dalam Linda Christanty dkk (Ed), Sastra Kota. Yogyakarta: Bentang Budaya

www.kompasiana.com/iim_sobandi/keberagaman-sastra-indonesia-seksualitas-dan-feminisme-di-dalam-sastra-wangi

jurnalperempuan.org/tokoh/djenar-maesa-ayu-menganggap-seks-sebagai-tabu-adalah-kejahatan-kemanusiaan

lolitaselma.wordpress.com/2015/05/22/sastra-wangi

Serba-serbi KepenulisanWhere stories live. Discover now