Tentang Tekad yang Mengawali Segalanya

4.5K 588 59
                                    

Damas masih menyelesaikan esai Sejarah Indonesia ketika Boy, teman sekelasnya, tiba-tiba menceletuk, "Anak basket kenapa, deh, Dam?"

"Kenapa apanya?" Damas berhenti menulis dan menatap Boy yang rupanya tengah melihat ke luar jendela kelas. Ruang kelas mereka terletak di pojok wilayah kelas sepuluh. Jendela kelas mereka menghadap ke arah pekarangan samping sekolah yang juga meliputi sebagian tempat parkir dan kafeteria. Taman di sebelah kafeteria, lapangan basket, dan lapangan tenis masih sedikit terlihat walau terhalang pepohonan.

"Berantem," jawab Boy datar.

Damas terbelalak. Ia berlari menghampiri Boy dan ikut melihat ke luar. Tetapi, ia tidak menemukan apa-apa di bagian lapangan basket yang tidak terhalang pepohonan. Ia hanya melihat gadis-gadis cheerleaders tengah menggerombol sambil berbisik-bisik di taman dengan pandangan terarah ke lapangan basket. Anak-anak klub tenis latihan seperti biasa, tetapi sebagian dari mereka juga melihat ke arah lapangan basket.

"Telat lo. Barusan Rendi diseret cewek pergi," kata Boy.

"Rendi?!" ulang Damas tak percaya. "Cewek siapa?"

"Yang kembar tu, loh. Anak 10-1."

"Astrid apa Nina?"

"Yang rambutnya panjang, anak cheers."

Berarti Nina! Damas terlanjur deg-degan karena sepersekian detik mengira Astrid terlibat. Ia sudah tidak peduli pada esai sejarahnya dan memutuskan untuk menyusul ke lapangan basket sekarang juga. "Boy, ini gue belom selesai tapi tulisin aja sumbernya dari buku cetak yang cover-nya biru. Tolong, ya! Thanks!" titipnya pada Boy, lalu memelesat keluar dari kelas.

Seluruh siswa kelas sebelas tengah menjalani kegiatan wajib pertengahan semester dua, yaitu karya wisata. Jadi, hanya anak-anak kelas sepuluh yang hadir di latihan basket kali ini, itu pun belum semuanya datang. Pelatih dan asisten pelatih masih dalam perjalanan ke sekolah. Beberapa anak memilih untuk nongkrong bersama teman-teman dari lingkungan pergaulan lain di kafeteria atau, seperti Damas tadi, mengerjakan tugas yang harus dikumpulkan hari ini.

Setibanya di lapangan basket, hanya ada empat anak laki-laki yang berkumpul di sana. Tiga duduk-duduk di tribun, satu—Rizaldi—berdiri berkacak pinggang dengan raut muka terusik. Suasana di sana terasa sedikit menegangkan. Damas terengah-engah mengatur napas. Saking tidak ingin ketinggalan informasi, ia sampai pergi ke sini dengan berlari secepat mungkin.

"Siapa—yang—berantem?" Damas bertanya ngos-ngosan.

"Tu," Rizaldi menunjuk ke arah Rendi yang dibawa Nina ke mulut koridor belakang gedung utama, lalu telunjuknya diarahkan ke Himawan yang duduk di tribun dengan muka masam. "Ama ini."

"Diem lo!" sahut Himawan, tak senang kejadian barusan diungkit lagi.

"Zal, bola udah diambil? Belom kan? Yuk, ambil!" Damas menarik Rizaldi pergi ke gudang penyimpanan alat olahraga di dekat gedung olahraga. Di sana Rizaldi menceritakan semuanya pada Damas.

Awalnya, Himawan dan yang lain membicarakan Astrid yang sampai sekarang tidak pernah menerima satu cowok pun yang menyatakan perasaan padanya. Lalu, Himawan mengatakan sesuatu tentang Astrid yang tidak menunjukkan batasan untuk cowok-cowok yang masih berusaha mendekatinya. Menurut Himawan, Astrid sengaja menolak semua pernyataan cinta itu karena gadis itu menikmati permainan ini. "Kalau dia nggak set boundaries dengan jelas tuh, cowok-cowok jadi merasa bebas deketin dia gitu loh. Cowok-cowok jadi merasa nggak dibatesin atau dibentengin supaya nggak deketin dia lagi, malah dikasih tantangan lain yang mesti ditaklukin," begitu Rizaldi mengutip pendapat Himawan. Dan itu membuat Rendi marah.

Menurut Rendi, justru semua penolakan yang dilakukan Astrid adalah batasan yang jelas agar membuat cowok-cowok berhenti mendekatinya. "'Lu-lu aja yang otaknya pada di dengkul!'" Rizaldi menirukan ucapan Rendi tadi. Cowok-cowok sering mengira apa yang dikatakan atau dilakukan cewek selalu bermakna ganda, lalu mengasumsikan kemauan sebenarnya si cewek sesuka mereka sendiri. Padahal, bagi cewek pun, iya berarti iya dan tidak berarti tidak. Kalau Astrid tidak mau, ya, memang tidak mau. Tidak ada arti lainnya, apalagi niat untuk menciptakan tantangan bodoh.

Kronik DamasTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon